Beranda » Biawak pun Bicara

Biawak pun Bicara

1316070791961542106
DALAM hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas diceritakan seorang A’rabi—Arab Badui—dari Bani Sulaym keluar untuk mencari air di padang pasir. Tiba-tiba ia menemukan biawak merayap di hadapannya. Ia berjalan di belakangnya sampai berhasil menangkapnya. Ia menyimpannya di dalam kantongnya. Ia melanjutkan perjalanannya mendatangi Nabi Muhammad saw. Tidak jauh dari Nabi, ia berteriak, “Ya Muhammad, ya Muhammad!”

Ketika orang A’rabi itu menyerunya ‘Ya Muhammad, ya Muhammad’, Nabi Muhammad saw pun menjawabnya dengan seruan, “Ya Muhammad, ya Muhammad.”

Sang A’rabi lalu berkata, “Engkau tukang sihir pendusta! Di bawah kolong langit ini, di atas permukaan bumi, tidak ada lidah yang lebih pembohong daripada lidahmu. Engkaulah yang mengaku bahwa Tuhan telah membangkitkan kamu di bumi ini sebagai utusan kepada orang hitam maupun orang putih. Demi Latta dan ‘Uzza, sekiranya aku tidak takut kaumku menyebut aku sebagai orang yang terburu-buru, aku akan bunuh kamu dengan pedang ini dengan satu tebasan saja!”

Umar bin Khaththab yang berada di situ langsung loncat untuk mencengkeramnya. Namun, Nabi Muhammad saw berkata, “Duduk hai Umar! Hampir saja seorang penyantun itu dapat menjadi nabi karena kesantunannya.”

Kemudian Nabi Muhammad saw melihat kepada orang A’rabi itu seraya berkata, “Hai saudaraku Bani Sulaym, inikah yang dilakukan orang Arab? Mereka menyerang kami di tengah-tengah majelis kami dan mencaci maki dengan kata-kata kasar? Hai A’rabi, demi yang mengutusku dengan kebenaran sebagai Nabi, sesungguhnya dua pukulan di dunia esok hari akan menyala di neraka. Hai A’rabi, demi yang mengutusku dengan kebenaran sebagai Nabi, sesungguhnya penghuni langit yang ketujuh menamaiku Ahmad Yang Benar. Hai A’rabi, Islamlah kamu supaya kamu selamat dari api neraka. Sehingga apa yang kami miliki juga menjadi milikmu, apa yang menimpa kami juga menimpamu, dan jadilah kamu saudara kami di dalam Islam.”

Orang A’rabi itu semakin marah dan berkata, “Demi Latta dan ‘Uzza, aku tidak akan beriman kepadamu hai Muhammad, kecuali kalau biawak ini beriman.”

Orang A’rabi itu lalu melemparkan biawak dari kantongnya. Ketika jatuh ke bumi, biawak itu segera melarikan diri. Nabi Muhammad saw menyerunya, “Hai biawak, kembalilah kepadaku!” Biawak itu kembali sambil memandang Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw bersabda, “Hai biawak, siapakah aku?” Tiba tiba biawak itu berbicara dengan lidah yang fasih, “Engkau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf.”

Nabi Muhammad saw bertanya lagi, “Siapa yang kamu sembah?” Biawak itu menjawab, “Aku menyembah Allah yang menaburkan biji-bijian dan menggelarkan ciptaan; yang mengambil Ibrahim sebagai sahabat-Nya dan memilih engkau, hai Muhammad, sebagai kekasih-Nya.”

Ketika orang A’rabi itu menyaksikannya, ia berkata, “Ajaib benar! Seekor biawak yang aku buru di padang pasir dan aku simpan di dalam kantungku; yang tidak berpikir dan berakal, tiba-tiba berbicara kepada Muhammad saw dengan pembicaraan seperti ini dan bersaksi dengan kesaksian seperti ini. Ulurkan tanganmu dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba-Nya dan utusan-Nya.”

Percayakah Anda? Anda boleh percaya, juga boleh tidak percaya. Saya mendapatkan kisah tersebut dari guru saya: Ajengan Jalal (Prof Jalaluddin Rakhmat). Khususnya dalam sebuah ceramah dan tulisan yang berkaitan dengan Sayyidah Fathimah dan karamah-nya. Harus diakui sangat sedikit kisah-kisah atau riwayat yang berkaitan dengan keajaiban atau hal-hal luarbiasa yang dialami Nabi Muhammad saw yang sampai kepada kita. Mungkin karena bernuansa “ajaib” sehingga tidak terlalu dianggap benar.

Bahkan, yang benar-benar terjadi dan didukung dengan riwayat yang shahih dan banyak dimuat dalam berbagai kitab-kitab pun dianggap tidak benar. Tidak salah kalau kebenaran sejarah yang benar-benar terjadi dianggap mitos, sedangkan mitos dianggap realitas—hehehe teringat judul bukunya almarhum Prof Kuntowijoyo. Karena itu, orang-orang beragama semakin jauh dari nilai-nilai asali. Semakin jauh dari yang sesungguhnya. Yang ada dan mengada sekarang serta hidup di tengah masyarakat hanyalah penafsiran. Orang-orang berebut tafsir, bukannya mencari kebenaran dari tafsiran tersebut. Orang-orang berebut klaim; bukannya mencari dasar-dasar dari klaim. Kebenaran merupakan keniscayaan, tetapi orang-orang enggan untuk menelusuri yang kemudian menemukannya.

Ahmad Sahidin