Beranda » Enam Petak Sawah Untuk Tebus Manuskrip Aceh

Enam Petak Sawah Untuk Tebus Manuskrip Aceh



Tarmizi menunjukkan salah satu koleksi manuskripnya
Lelaki itu tampak serius membolak-balikkan halaman sebuah kitab kuno Beraksara Arab-Jawi. Kitab berbalut sampul kain berwarna hijau itu, sudah terlihat usang di makan zaman.


Satu per satu halaman dibuka, tiba-tiba dia mendadak lesu saat mendapati salah satu halaman di kitab tersebut yang sudah bolong dimakan rayap.


“Ini sudah bolong. Kalau sudah bolong begini otomatis sebagian isinya hilang, enggak tahu lagi mau cari di mana,” katanya menyiratkan kegusaran saat ditemui wartawan okezone.

Pria itu Tarmizi A Hamid (45). Warga Gampong Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh ini, merupakan kolektor naskah-naskah kuno Aceh.


Mengumpulkan puluhan manuskrip kuno yang kini berada di salah satu sudut rumah Tarmizi A Hamid, bukan didapat dengan mudah. Puluhan juta dia rogoh dan enam petak sawah ia jual dari kocek sendiri untuk mengumpulkan satu persatu manuskrip tua itu.


Saat ditemui okezone beberapa waktu lalu, Warga Gampong Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh itu mengaku enam petak sawah di kampung halamannya kawasan Teupin Raya, Kabupaten Pidie, Aceh ikut dilego untuk mewujudkan tekadnya itu.


“Tanah hilang bisa kita dapatkan lagi, tetapi kalau manuskrip-manuskrip ini hilang mau kita cari di mana,” tutur Tarmizi.


Untuk menjaga ratusan manuskrip yang dimilikinya, beberapa di antaranya kini mulai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun dia belum berani memperbanyaknya karena masih perlu pengkajian lagi dari para pakar sejarah.


Berawal dari keprihatinannya atas kurangnya perhatian pemerintah di Aceh terhadap pelestarian benda-benda bersejarah, dia mengabdikan diri tanpa pamrih untuk menyelamatkan berbagai manuskrip Aceh.


“Tujuan saya bukan sekadar mengoleksi saja, tetapi tujuan saya yang utama adalah menyelamatkan naskah tersebut agar generasi selanjutnya tahu dengan peninggalan sejarahnya,” kata Tarmizi.



Kitab kuno yang dibolak-balikkan tadi adalah karangan ulama besar Syekh Abdurrauf As Singkili, berisi panduan tata laksana Syariat Islam di Aceh semasa Ratu Safiatuddin memimpin Kerajaan Aceh (1641-1675 M).


Terkenal dengan nama Teungku Syiah Kuala (1615-1693 M), dia merupakan Kadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh. Syiah Kuala konseptor sekaligus pemutus hukum Kerajaan, memiliki pengaruh hingga semenanjung Asia Tenggara.


Sayangnya kitab bersejarah yang sangat dijunjung tinggi Kerajaan Aceh tersebut kini nyaris punah karena luput dari perhatian. Tak banyak masyarakat Aceh yang tahu dengan isi atau bentuk kitab tersebut.


Terinspirasi dari Museum Negara Tetangga


Berawal dari kunjungannya ke museum di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam, Tarmizi terpanggil mengoleksi manuskrip Aceh. Dia tergugah setelah melihat sebagian besar manuskrip yang dipajang di sana berasal dari Aceh.


Di sana manuskrip Aceh begitu berharga, kenapa di Aceh banyak naskah-naskah kuno tercecer begitu saja,” kata Tarmizi.


Manuskrip Aceh sekarang sangat banyak di Malaysia, Singapura, Brunai, Belanda, Inggris dan Turki. Sayangnya di Aceh sendiri tidak ada yang peduli hal begini,” lanjutnya.



Sejak 1995 mulailah Tarmizi berpetualang mengumpulkan naskah-naskah kuno Aceh hingga ke Riau. Hingga kini tercatat tak kurang 500 manuskrip Aceh dikoleksi Tarmizi, baik berupa mushaf, hingga kitab-kitab.


Manuskrip itu diyakini sudah berusia hingga 500 tahun yakni peninggalan adab ke 16,17 hingga 18 Masehi. Tarmizi menyiasati sebuah kamar rumahnya menjadi museum mini untuk menempati manuskrip-manuskrip tersebut.


Dia hanya mengandalkan cara tradisonal merawat naskah. Di ruang penyimpanan disusupi kapur barus, lada dan cengkeh untuk mengantisipasi serangan rayap.


Di sela kesibukannya sebagai karyawan di Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh, bersama sang istri Nurul Husna, Tarmizi menjaga naskah tersebut tak ubahnya seperti menjaga buah hatinya. Tarmizi memiliki dua anak yang masih bocah yakni Salsabila dan M Rafis.


Kitab tertua yang dikoleksi adalah kitab Luhfatul Thulab karya Syeh Zakaria Ansari yang diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-15 hingga masuknya abad 16. Zakaria Ansari adalah ulama Aceh asal Negeri Persia (Iran).


Kitab dan naskah kuno yang dikoleksi Tarmizi terdiri dari ilmu hukum Islam, ilmu perbintangan atau falaq, ilmu tauhid, ilmu ma’rifah, ilmu psikologi, ilmu fikih, ilmu kesehatan, hingga sejarah. Kitab itu ditulis oleh orang-orang Aceh terdahulu mayoritas dalam bahasa Arab-Jawi.


Sebagian besar sisi halamannya terukir seni bunga berwarna-warni, juga bermotif khas seperti ukiran di Rumah Aceh yang indah. Kitab-kitab kuno tersebut ditulis di atas kertas seperti kulit pepohonan buatan Eropa. Yang unik sudah ratusan tahun berlalu tetapi aksaranya masih jelas terlihat.


Ini bukan sekadar koleksi, tetapi ini adalah gudang ilmu,” ujar Tarmizi.



Meski rajin mengoleksi, Tarmizi mengaku belum membaca semuanya. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya ilmu. Maklum dia hanya jebolan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, yang menaruh perhatian terhadap sejarah. Menurutnya hanya para ahli filologi yang mampu menggali isi manuskrip tersebut.


Habis Puluhan Juta dan Enam Petak Sawah


Mengumpulkan puluhan manuskrip kono yang kini berada di salah satu sudut rumah Tarmizi A Hamid, bukan didapat dengan mudah. Puluhan juta dia rogoh dari kocek sendiri untuk mengumpulkan satu persatu manuskrip tua itu.


Saat ditemui wartawan okezone beberapa waktu lalu, Warga Gampong Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh itu mengaku enam petak sawah di kampung halamannya kawasan Teupin Raya, Kabupaten Pidie, Aceh ikut dilego untuk mewujudkan tekadnya itu.


Tanah hilang bisa kita dapatkan lagi, tetapi kalau manuskrip-manuskrip ini hilang mau kita cari di mana,” tutur Tarmizi.


Untuk menjaga ratusan manuskrip yang dimilikinya, beberapa di antaranya kini mulai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun dia belum berani memperbanyaknya karena masih perlu pengkajian lagi dari para pakar sejarah.


Tarmizi mengaku soal sejarah dan agama agak sensitif, sehingga perlu kajian lagi oleh pakarnya ketika kita perbanyak tidak menimbulkan kontroversi. Ke depan Tarmizi menerjemahkan kemudian dibukukan agar bisa dinikmati banyak orang sangat besar.


Begitu pula rencana mendigitalisasikan manuskrip tersebut. Namun karena terbatas dana yang dimilikinya, hingga sekarang baru 23 naskah yang berhasil dia digitalkan.



Mengingat usia naskah yang uzur, Tarmizi gusar. Soalnya jika tak segera direstorasi ditakutkan aksara dalam ratusan manuskrip tersebut akan terkelupas satu-satu dari halaman. Semua tulisan tersebut ditulis timbul bukan cetakan seperti buku sekarang jadi rawan rontok.


Tarmizi menjelaskan restorasi memakan biaya tak sedikit, harga kertas untuk merestorasi naskah kuno kini mencapai Rp23 juta permeter dan satu-satunya Negara yang menyediakan kertas tersebut adalah Jepang.


Dari ratusan manuskrip koleksi Tarmizi baru 56 yang baru direstorasi itupun atas kerjasamanya dengan Balai Pusat Kajian Pendidikan Masyarkat Banda Aceh. Selebihnya manuskrip itu masih diwaranai bolong-bolong bekas serangan rayap.


Berharap Pada Pemerintah


Kepedulian Pemerintah terhadap pelestarian naskah kuno diakui minim, karena itulah Tarmizi berharap pada Pemerintah. “Sebenarnya apa yang saya lakukan ini adalah kewajiban Pemerintah. Jadi saya sudah menyesal kalau berharap Pemerintah memperhatikan ini,” ujar Tarmizi.


Peneliti dari Perpustakaan Inggris, Dr.Annabel Gallop dalam sebuah seminarnya sejarah di Unsyiah Banda Aceh pekan lalu mengaku Pemerintah Indonesia memang masih belum serius memberikan pehatian untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno.


Dia membandingkan dengan Malaysia. Pemerintah negeri jiran, kata dia, tiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk membeli naskah-naskah kuno dari tangan masyarakat sehingga meseum-meseum di sana koleksinya dari hari ke hari terus bertambah.



Tetapi Pemerintah Indonesia belum mengalokasikan uang tiap tahun seperti yang dilakukan Pemerintah Malaysia untuk membeli manuskrip,” keluh Annabel.


Maka, lanjut dia, wajar saja banyak naskah-naskah kuno dari Indonesia dijual ke luar negeri melalui agen-agen. Di Indonesia naskah-naskah kuno diakui banyak terdapat di Aceh, Jawa, dan Bali.


Naskah kuno Aceh diakui masih banyak tercecer dan Tarmizi akan terus mengumpulkan sebanyak mungkin. Menurutnya manuskrip Aceh kini sudah layak menjadi warisan dunia.


Ratusan manuskrip Aceh koleksi Tarmizi kini bernilai tinggi. Sejumlah pihak termasuk Pemerintah, kata dia, sudah menawarkannya dengan harga tinggi namun dia menolak menjual naskah-naskah kuno tersebut.


Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada naskah-naskah kuno. Saya tidak pernah menghitung apa yang saya kerjakan ini dari segi materi, tetapi saya hanya menginginkan sejauh mana apa yang saya lakukan ini bermanfaat bagi orang lain dan generasi mendatang,” tegasnya.