Beranda » Galias, Kapal Asing di Kerajaan Nanggroe Daya

Galias, Kapal Asing di Kerajaan Nanggroe Daya

SETELAH pelayaran berpekan-pekan, galias itu terdampar di Kerajaan Negeri Daya. Penguasa setempat, Pahlawan Syah, segera memerintahkan bala tentara mara ke pantai. Di kapal itu mereka bersua dengan serombongan awak berkulit putih, berhidung mancung, dan bicara dalam bahasa asing. Perang tak terhindarkan. Singkat cerita, serdadu kerajaan menawan seisi kapal. Mereka dikurung di sebuah kamp berpagar tinggi dekat pantai Daya, daerah yang kini dikenal sebagai Kampung Meunanga.






Bangsa Asing
Pahlawan Syah tentu saja gembira di hati. Ini bak pucuk dicinta ulam tiba! Syah sedang dirisaukan perang sipil dengan beberapa kerajaan tetangga, seperti Pase dan Pedir (Pidie). Orang-orang putih, yang kebetulan mengerti soal senjata api, itu lalu dipaksa membuat mesiu untuk armada perangnya. Karena kapal hancur dan bantuan dari tanah leluhur tak kunjung tiba, mereka menyatakan takluk kepada Raja, dan mulai hidup sebagai orang Daya. Sebagian kawin-mawin dan beranak-pinak dengan penduduk setempat.


Lima abad kemudian, keturunan "orang putih di galias asing" itu masih bisa ditemukan. Mereka tak terlalu sulit dikenali. Mata mereka masih biru, meski pada sebagian besar sudah mulai kecokelatan. Bahasa mereka tentu saja sudah Aceh medok. Semuanya beragama Islam. Garis keturunan itu tidak pupus meski telah berlalu masa hampir 500 tahun. Dalam percakapan sehari-hari mereka biasa disebut "bule Lamno".


Negeri Daya, kerajaan yang menguasai orang-orang putih itu, merupakan satu noktah di peta Aceh yang kini dikenal sebagai Kecamatan Lamno. Terletak di Kabupaten Aceh Jaya, sekitar 156 km dari Banda Aceh ke arah barat. Tapi, kisah kapal terdampar itu barulah satu dari dua versi paling populer tentang kehadiran "orang putih" di pesisir Lamno.


Sejarah mereka merentang 500 tahun ke masa silam, pada suatu hari di tahun 1509. Beberapa saat setelah bala tentara laut Portugis, yang disebut ekspedisi pertama, kalah perang melawan Askar Laut Diraja Kerajaan Malaka, gali-gali Peringgi itu menghindar berhamburan, menyingkir dari Selat Malaka. Dalam pelayaran kabur itulah satu—mungkin beberapa—di antaranya jatuh ke tangan Pahlawan Syah.


Cerita kekalahan Peringgi pada 1509 bisa ditemui di banyak catatan sejarah, namun nasib serdadu yang kalah perang itu dicatat secara berbeda. Marco Ramerini, seorang penulis sejarah Portugis, mengisahkan anggota ekspedisi Portugis yang keok itu berakhir di balik jeruji penjara Sultan Malaka. Mereka bebas dua tahun kemudian, ketika ekspedisi kedua Portugis berhasil menundukkan Malaka.


Menurut versi lain asal-usul "orang putih" di Lamno, mereka bukan terdampar, melainkan sengaja datang berdagang dengan penduduk Negeri Daya. Mereka membawa pelbagai barang berharga, mulai dari porselen hingga senjata dan mesiu. Balik ke negerinya, mereka mengangkut rempah-rempah dan berbagai hasil bumi. Kala itu Daya merupakan bandar dagang yang ramai di Aceh. Para saudagar berdatangan dari India, Arab, Cina, dan Eropa tentu saja.



Hubungan baik antara Raja Daya dan para saudagar berkulit putih, yang tersiar sampai jauh, membuat gusar Raja Kerajaan Lamuri di Banda Aceh, Ali Mugayat Syah. Ali, yang ingin Pahlawan Syah memutuskan hubungan dengan pedagang Portugis, yang menurut dia kafir, lalu menyerang dan menguasai Daya. Dialah yang kemudian menawan "orang-orang putih" itu di Meunanga. Dua tahun kemudian, Ali menguasai dua kerajaan lain: Pase dan Pedir (Pidie), lalu mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam dan mengangkat dirinya sebagai raja yang pertama (1511-1530).


Melihat lokasi Lamno yang tak terlalu jauh dari jalur dagang Portugis—Atlantis, Selat Malaka, Pasifik—cerita tentang Daya sebagai pelabuhan dagang nan ramai di Aceh cukup masuk akal. Tempat itu mudah ditemukan. Marco Polo melakukan itu pada 1292 dalam pelayarannya dari Cina menuju Persia, seperti bisa disimak dalam bukunya, Far East. Antara lain, Marco Polo mengatakan pernah berlabuh di enam bandar di sebelah utara Sumatera, termasuk Ferlec, Samudera, dan Lambri atawa Lamuri.


Catatan lebih tua bahkan menyebut perdagangan global di Aceh telah dimulai sejak abad ke-6 M. Para pedagang Cina, misalnya, meninggalkan catatan-catatan tentang sebuah kerajaan di bagian utara Sumatera, yang mereka beri nama Po-Li. Wilayah ini juga disebut-sebut dalam catatan kuno yang ditemukan di India, berasal dari awal abad ke-9 M.


Perdagangan di bandar-bandar Aceh bertambah maju setelah Portugis mengalahkan Malaka pada 1511, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Takut pada Portugis, para pedagang dari Asia dan Arab mulai menghindari Selat Malaka dan beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Sejak itu, dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640.


Di Lamno, jejak-jejak masa jaya itu kian sulit dilacak. Dulu banyak peninggalan kuno seperti porselen dan mata uang dari berbagai kerajaan dunia ditemukan. Kini hampir semua peninggalan sejarah itu telah berpindah tangan, kecuali satu: kisah kapal "orang putih" dan keturunannya yang bermata biru. Karena hidup dalam komunitas terbatas selama beratus-ratus tahun, darah Portugis masih mengalir dalam diri sebagian masyarakat Lamno, terutama yang menetap di Kuala Daya dan lambeuso serta Ujong Muloh.


Baru setelah Indonesia merdeka, isolasi mulai terbuka. Cerita tentang gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan yang putih bermata biru berembus cepat melintas Gunung Geureute, bahkan lautan. Sejak itu, orang-orang "asing" pun berdatangan ke Lamno. Ada yang sekadar menikmati indahnya hamparan pasir putih yang berkilau di kaki Geureute, atau berziarah ke makam Sultan Salatin Alauddin Riayat Syah, raja pertama Kerajaan Negeri Daya yang bergelar Po Teumeureuhom. Tapi kebanyakan perjaka datang mengusung mimpi: mempersunting anak dara bermata biru.