Beranda » KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (4) NAMA, AGAMA, DAN HISTORIS PENDIRIAN

KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (4) NAMA, AGAMA, DAN HISTORIS PENDIRIAN

Sajarah – Tapak Lacak Bujangga Manik 4?

KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (4) NAMA, AGAMA, DAN HISTORIS PENDIRIAN

Tulisan ini berasal dari “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik” yang dirasa menjadi terlampau panjang, sehingga menyusahkan yang membaca. Naskah itu dipotong-potong menjadi beberapa bagian yang bisa dibaca sendiri-sendiri. Ini salah satunya).

NAMA, AGAMA, DAN HISTORIS PENDIRIAN KERAJAAN TALAGA

A. Nama Kerajaan: Talaga atau Talaga Manggung?


Tidak sedikit “blog” yang menuliskan nama Kerajaan Talaga itu dengan nama Talaga Manggung. Terhadap ini keyakinan kita adalah:


(1) Berdasarkan naskah-naskah yang disusun oleh “keturunan Talaga” (sumber-sumber “sejarah” Talaga seperti telah disebutkan di bagian awal, bagian 3 tulisan tentang Kerajaan Talaga ini), nama kerajaan itu selalu disebut Talaga, bukan Talaga Manggung. Nama Talaga Manggung adalah nama salah satu rajanya.


(2) Berdasarkan tulisan Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan), nama kerajaan ini juga Talaga, bukan Talaga Manggung. “Kerajaan Talaga” disebutnya dengan “lurah Talaga” (“Walang Suji, inya na lurah Talaga”).




Jadi, pada akhir abad XV atau awal abad XVI ada “kerajaan” di sebelah (bagian) barat Gunung Caremay (mengikuti yang ditulis Bujangga Manik) yang bernama Talaga yang beribukotakan Walang Suji.


Siapa yang menyebut, dan sejak kapan kerajaan itu disebut, Talaga, tidak ada data historis mengenainya. Semua tulisan hanya sekedar menduga-duga, seperti juga nanti saya akan menduga-duga (menganalisis berbagai kemungkinan). Ini terutama terkait dengan sejak kapan ada kerajaan (apapun namanya) yang bernama Talaga.


Demikian pula halnya dengan ibu kota kerajaan ini. Pada masa Bujangga Manik (di antara tahun 1475 sampai 1525) jelas-jelas disebut ibu kotanya Walang Suji (tentu ini tafsiran, karena Bujangga Manik tidak secara tegas, tersurat dalam tulisannya, menyebut Walang Suji itu ibu kota Talaga).


Berbagai spekulasi menyebut antara lain ibu kota Kerajaan Talaga itu di Situ Sangiang (keratonnya di tengah Situ Sangiang), atau di desa Sangiang, dan ada juga yang menyebut-sebut berpindah-pindah antara lain di Cihaur, Parung, dan juga Talaga (kota). Ihwal kota Talaga disebut Talaga, tentu akan kita analisis lebih lanjut, kenapa menggunakan nama kerajaan tersebut, seolah-olah Kerajaan Talaga itu berpusat di kota Talaga.


B. Agama Talaga: Hindu atau Budha


1. Dukungan literatur ke-Budha-an Talaga



Mengenai apakah Kerajaan Talaga (pemerintah dan rakyatnya) itu beragama Hindu ataukah Budha, juga ada dua versi. Satu versi menyebut beragama Hindu. Lihat misalnya blog Pemda Majalengka yang dalam uraian sejarah Majalengka pertama-tama menyebut “Kerajaan Hindu di Majalengka.” Dalam hal ini untuk menyebut Talaga, dan diteruskan dengan dongeng “Sindangkasih”, tanpa menyebutkan Rajagaluh dan juga Wanagiri Palimanan. Ingat, Palimanan pernah masuk ke dalam Kabupaten Maja yang berubah jadi Kabupaten Majalengka.


Versi lain menyebut agama Talaga itu Budha, dan bahkan dikedepankan bahwa Kerajaan Talaga merupakan satu-satunya kerajaan Budha di Pasundan (mencakup daerah sebelah barat Cipemali). Dalam berbagai tulisan bahkan dimunculkan bahwa para perintis Kerajaan Talaga itu merupakan bagawan Budha. Ali Sastramijaya, misalnya, menuliskan bahwa “Raden Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung (cikal bakal raja-raja Talaga–Pen.) kemudian menjadi Dang Upacaka Agung Buddhayana Sarwastiwada di Gunung Bitung.”


Kerajaan Galuh-Pakuan-Pajajaran (masyarakat Sunda) baheula umumnya dikenal beragama Hindu dan Sunda Wiwitan (agama karuhun). Artinya ada percampuran di antara agama-agama itu, termasuk Budha yang datang kemudian. Karena di mana-mana sedang “naik daun” agama Hindu, tidak sedikit, karenanya, yang menyebut agama Kerajaan Talaga itu Hindu. Akan tetapi, seperti telah disebutkan di atas, ada yang dengan tegas menyatakan Kerajaan Talaga itu satu-satunya kerajaan (kecil) di Jawa Barat yang beragama Budha. Lalu, mana yang benar? Umumnya digabung saja jadi Hindu-Budha. Tentu tidak bisa sekedar disebut bahwa rakyat Kerajaan Talaga menganut agama Hindu-Budha, seolah-olah agama Hindu menyatu dengan agama Budha.


Kendati raja-raja Talaga itu berasal dari Galuh (Hindu), ternyata cikal bakal raja-raja Talaga itu, seperti dianalisis Ali Sastramijaya, dikenal sebagai bhatara agama Budha. Bahwa kerajaan Talaga itu beragama Budha tersurat dalam Kanda Babad Talaga (Babad Talaga dan [? jeung--Pen.] Lalakon ka Tanah Suci karangan R. Kartadilaga, 1939 (diedit ulang R. Kartadilaga dan H. Hasanoedin, 1940) dalam bahasa cirebonan sebagai berikut:


wonten kanda babad kang winarni/bek semana maksi djaman boeda/ing talaga (daerah atau wilayah Talaga sekarang–Pen.) . . .



Jadi, dalam bahasan-bahasan berikut akan selalu dirujuk bahwa Kerajaan Talaga itu merupakan kerajaan Budha yang segala nama, sesebutan dan sebagainya itu, tentu akan terkait dengan Budha, walau mungkin di sana-sini masih akan juga menyabet ajaran Hindu.


Dengan demikian pula maka segala dongeng tentang Talaga yang berbau-bau Hindu, kental kehinduannya, otomatis harus dianggap tidak benar. Ini contohnya (Khairul Ummah, “nyutat ti blog sabeulah”–menyalin blog lain):


Dalam peristiwa itu Prabu Talagamanggung terluka dan kemudian tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya meninggal. Jenazah beliau diurus sesuai ajaran Agama Hindu Kahiyangan, abu jenazahnya dilarung di Situ Sangiang.


Sekali lagi, menurut R. Kartadilaga (Kanda Babad Talaga) agama Kerajaan Talaga itu “Boeda.” Jadi, mengupacarai Talaga Manggung dengan ajaran agama Hindu Kahiyangan jelas tidak benar. Talaga itu “boeda.” Rujukan ini yang akan dipakai.


2. Patung-patung Budha Kerajaan Talaga


Konon di Talaga ada patung Budha. Ketika awal menulis tulisan ini, tidak ada gambar apapun tentangnya yang meyakinkan “penyimak tayangan maya” (internet) mengenai kebenaran adanya patung Budha tersebut. Mereka yang hanya bisa melihat lewat internet tidak punya pegangan, jadinya.


Tentu jika ada patung Budha, apalagi hanya patung kecil, di sesuatu tempat, tidak bisa dijadikan patokan bahwa di tempat itu ada “pemujaan Budha.” Namun demikian, berdasarkan berbagai literatur itu, keberadaan patung Budha di Talaga dapat diduga berkaitan dengan keagamaan yang dianut masyarakat setempat. Patung-patung Budha, yang konon kata para pewarisnya ada tiga itu, yang bisa dilacak keberadaannya sebagai berikut.



a. Wajrapani


Alhamdulillah, setelah bersusah payah menelusuri internet, dengan menggunakan berbagai kata kunci, dalam bahasa Belanda dan Inggris, akhirnya Kamis, 23 Nopember 2010, patung Budha pertama (fotonya) tertemukan juga.


Patung Budha Talaga itu terbuat dari perunggu dalam bentuk Budha berdiri yang disebut dengan Wajrapani (membawa semacam “wajra” atau cakram). Budha atau Bodhisattwa (rupanya agak jelek, tidak setampan wajah Budha umumnya), kata Groeneveldt, 1887, itu bukan patung dari masa kuno yang baik. Budha digambarkan mengenakan “celana panjang” dengan dada telanjang seperti wayang Indonesia. Budha berdiri bertumpu pada kaki kiri, kaki kanan jadinya agak “lepas.” Tangan kanan sedikit terangkat , telapak tangan menghadap ke atas, jari tengah ditekuk menempel pada ibu jari. Posisi tangan kanan seperti itu biasanya sambil menggenggam “wajar” (“bajra”). Pada patung Budha Talaga ini di tangannya tidak ada apa-apa.Tangan kirinya berada di pinggang dengan bagian telapak tangan mengarah ke dalam. Kepalanya mengenakan mahkota seperti raja-raja, bukan “bundaran Budha,” dan ada lingkaran di sekeliling kepalanya.


Patung perunggu Wajrapani tersebut merupakan koleksi Rijkmuseum, Belanda. Semula merupakan koleksi H. van Meurs (sekitar tahun 1940) dari H. s’Jacob (sekitar tahun 1915) yang berada di Talaga sampai tahun 1915. Keterangan dan foto patung tersebut dimuat dalam tulisan van Naerssen (1940), dan Wilsen (1855). Di internet dapat dilacak melalui “Ancient Indonesian bronze: a catalogue of the exhibition in the Rijkmuseum.” (Patung kuningan Indonesia kuno: Katalog pameran Rijkmuseum).


Konon pada tahun 1823 (menurut “Colonial Collections Revised”) patung ini ada duplikatnya pada Residen Cirebon. Patung Budha tersebut ditemukan sebagai koleksi pribadi keluarga Talaga bersama-sama dengan patung-patung Hindu-Budha lainnya. Ini tercatat oleh Raffles (1817).Pada tahun 1876 Asisten Residen Majalengka mendonasikannya ke Museum Batavia.



Nah, inilah patung perunggu Bodhisatwa


“the bronze figurine was found by Wilsen in 1855 among the other heirlooms (pusaka) of the West Javanese realm of Pajajaran. These had been preserved in the village of Talaga in Ceribon and consisted of an extremely heterogeneous collections of utensils, pebbles, Chinese coins and images of gods . . . in 1955 these objects . . . were sold.”


[Patung kuningan itu ditemukan oleh Wilsen pada tahun 1855 di antara berbagai barang poesaka kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Benda-benda pusaka yang terdiri dari beragam perkakas dan perabotan, manik-manik (batu perhiasan), mata uang Cina, dan patung-patung dewa itu ada di desa Talaga, Cirebon . . . pada tahun 1955 (sebagian--?) dari benda-benda tersebut dijual].



PATUNG BUDHA (1) KERAJAAN TALAGAPatung Bodhisattwa (“standing Wajrapani”) dari Talaga, Majalengka, Cirebon, yang ditemukan Wilsen tahun 1855; tinggi 21cm. (Koleksi Rijkmuseum)



Nah, foto patung yang sama saya temukan online dari koleksi Tropenmuseum (6 Januari 2011) . Agak lebih “cakep” wajah patungnya, seperti di bawah ini. Tapi yakin ini dari Talaga, karena “judul” yang muncul berbunyi “koleksi dari Majalengka,” di samping sosoknya pun sama, hanya teknis pemotretan yang berbeda. Patung ini dijuduli “Bronze Bodhisattvabeelds” (patung perunggu Bodhisatwa). Hanya pada foto di bawah lebih tampak seperti dari tanah liat atau batu, patung yang di atas lebih tampak dari logamnya.



PATUNG BUDHA (BODHISATWA) KERAJAAN TALAGA (1b)Patung Perunggu Bodhisatwa dari Talaga (“ditemukan online dari Tropenmuseum, 6 Januari 2011)


b. Manjuwajra


Mudah-mudahan saya tidak salah, karena teks yang harus dibaca berbahasa Belanda, padahal perbendaharaan kata Belanda saya sangat terbatas. Patung Manjuvajra (Manjuwajra) ini juga dari Talaga (“te Talaga in de residentie Tjirebon”). Menurut Krom, patung ini ditemukan Wilsen juga di Talaga, tahun 1854. Perhatikan tangan kanan patung yang memegang “vajra” (cakram). Kata Wilsen, “orang Talaga” menyebutnya Batara Guru, bukan Budha. Wajar, karena tangannya seperti Batara Guru.



PATUNG BUDHA "BATARA GURU" MANJUVAJRA DARI TALAGAPatung Budha (“Batara Guru”) Manjuwajra dari Kerajaan Talaga


Nah, ini catatan tentang patung tersebut. Saya coba terjemahkan artinya. Tidak yakin pasti tepat, tapi daripada tidak terpahami sama sekali. Bantuan “terjemahan Google” pun ternyata tidak selalu tepat juga, suka kacau balau!


Het bedoelde beeldje behoort tot het zonderling amalgama van heilige voorwerpen, te Talaga in de residentie Tjirëbon bewaard en vereerd [Patung tersebut bercampur baur dengan benda-benda asing keramat lainnya yang ada di wilayah Talaga, Cirebon, dan dirawat serta dihormati ("dipusti-pusti"--Sunda) oleh pemiliknya]. Er zijn daar veldslangen en falkonetten, bellen, lanspunten en Chineesche munten, ja zelfs een Hollandsche drankflesch, alles zorgvuldig opgeborgen en noode voor den dag gehaald [Dalam kumpulan benda-benda asing itu terdapat antara lain ular-ular tanah (patung atau yang diawetkan?), juga tempat cuci dari gerabah (?), lonceng, ujung tombak, dan mata uang Cina, bahkan ada pula botol minyak wangi Belanda, semuanya dirawat dengan cermat sampai saat itu]. Bij die verzameling zijn ook eenige beeldjes, waaronder zuiver Siameesche, die ongetwijfeld uit dat land zijn ingevoerd en een paar Hindu-Javaansche, waaronder het hier besprokene door uitvoering en bewerking de kroon spant [Dalam koleksi itu terdapat pula berbagai patung, termasuk patung asli dari Siam yang tidak diragukan lagi "diimpor" dari negeri tersebut, dan beberapa lagi patung Hindu-Jawa, termasuk yang sedang dibahas dalam tulisan ini].


De verzameling als geheel kan hier overigens onbesproken blijven, daar de dwaze combinatie uit den aard der zaak maakt, dat het céne stuk toch geen aanwijzingen voor het andere geven kan [Koleksi tersebut tidak seluruhnya dibahas di sini karena percampurbaurannya tidak memberikan signifikansi khusus pada bahasan tertentu].


Op het beeldje werd het eerst de aandacht gevestigd door F. C. Wilsen, die het in 1854 te Talaga aantrof en beschrijft als “Betara Goeroe, 15 duimen hoog, zittend beeld met drie hoofden, van hol gegoten rood koper” [Salah satu patung itu pertama kali "ditemukan" oleh F.C.Wilsen pada tahun 1854 di Talaga dan dikenal sebagai patung "Batara Guru" yang tingginya 15 dim (inci), dalam posisi duduk, berkepala tiga, terbuat dari tuangan (cor) kuningan merah (tembaga) berongga].



c. Budha


Konon, menurut Sandy, kata neneknya, patung yang ada di Talaga itu ada tiga buah. Dua buah sudah saya temukan seperti apa sosoknya. Masih ada satu lagi, kalau begitu. Alhamdulillah, mudah-mudahan ini benar-benar dari Talaga, karena tidak ada keterangan tegas. Ditemukan online dari koleksi Tropenmuseum, 6 Januari 2011, dalam judul “koleksi dari Majalengka.” Patung ini diberi nama “Bronze Boeddhabeeld.” (Patung perunggu Budha), ditemukan sekitar tahun 1863-1864-an (di Talaga, mestinya).


PATUNG BUDHA KERAJAAN TALAGA (3)Patung Budha Kerajaan Talaga, “Ditemukan” 1863-1864


Dengan demikian, jika benar ada tiga buah, ketiga buah patung Budha kecil terbuat dari perunggu itu sudah tertemukan. Tinggal lagi bisakah diusahakan diminta kembali untuk disimpan di Museum Talaga Manggung (dengan pengamanan yang kokoh) ataukah dibuatkan duplikatnya.


Yang tidak jelas itu adalah bahwa konon menurut para ahli waris Kerajaan Talaga (dimuat di internet) ada patung Talaga Manggung dan Simbarkencana yang masih dicari-cari keberadaannya. Apakah salah “tangkap” Wajrapani (patung 1 dan 1b) dikira Talaga Manggung dan Budha (patung 3) dikira Simbarkencana? Aataukah benar-benar kedua tokoh Talaga itu dipatungkan?


3. Talaga Pusat Budha Nusantara?



Beberapa penulis Talaga sering terlampau semangat untuk mengkultuskan Talaga, seolah-olah Talaga itu kerajaan dunia. Batara Gunung Bitung dan Batara Darmasuci I mungkin murid-muridnya banyak, tapi tidak sedemikian banyak sehingga seolah-olah dari berbagai belahan bumi Indonesia berdatangan ke Talaga. Pusat pendidikan dan pengajaran Hindu-Budha tidak di sekitar Talaga. Perhatikan peta di bawah ini.


Pusat Penyebaran Agama Hindu-Budha di Jawa


Sama halnya dengan menyebut Talaga menjadi pusat perdagangan nusantara, menjadi jalur perniagaan di sebelah selatan. Orang Galuh pindah ke Pajajaran, orang Pajajaran pindah ke Galuh saja, tidak pernah lewat Talaga. Lewat jalur selatan. Talaga itu di tengah-tengah, bukan jalur utama, karena harus memutar. Sesekali orang Pajajaran lewat Karangsambung terus ke Kawali. Tak sering.


C. Awal Mula Kerajaan Talaga: Mulai Dharmasuci II?


Dari sekian banyak nama raja yang ada di Kerajaan Talaga, satu-satunya yang bergelar dengan menggunakan nama Talaga adalah “Sunan Talaga Manggung.” Sekali lagi, penyebutan “sunan” tampaknya karena wawacan ditulis abad XX ketika julukan para wali, yaitu sunan ikut “merasuki” Sunda. Lain-lainnya tidak ada yang menggunakan nama Talaga, walau menggunakan nama sunan, antara lain Sunan Benda, Sunan Cungkilak, dan Sunan Gombang. Ini sungguh menarik.


1. Raden Sudhayasa gelar Bhatara Gunung Bitung, putra Prabhu Suryadewata


Pemula pendiri “Kerajaan Talaga” itu disebut-sebut Batara (Bagawan) Gunung Bitung (ada yang menulis Batara Gunung Picung). Disebut demikian karena bermukim menjadi “batara” (bagawan) di Gunung Bitung (atau di Gunung Picung). Gunung Bitung itu terletak di perbatasan Kawali/Panjalu dan “Talaga” di daerah Cikijing sekarang, di sekitar desa Wangkelang. Nama desa Wangkelang ini mungkin berasal dari kata “wana + kalwang” alias hutan kalong, atau bisa juga dari “wangke” = bangkai, dan “lang” heulang/elang; yang pertama tampaknya lebih “ilmiah”, yang kedua akan menjadi dongeng legenda.



Dalam peta “Cirebon 1857″ berikut tak tersebut ada Gunung Bitung, yang ada Gunung Cendana. Di sekitar itulah yang disebut Gunung Bitung berada. Artinya, apa yang disebut “G. Tjendana” oleh Belanda itu sebenarnya Gunung Bitung (perbukitan tinggi yang banyak ditumbuhi bamabu yang oleh orang Sunda disebut “awi bitung” atau “pring petung” kata orang Jawa).


GUNUNG CENDANA (GUNUNG BITUNG)


Gunung “Tjendana” alias Gunung Bitung di perbatasan Ciamis Cikijing


Batara Gunung Bitung ini nama aslinya, menurut Ali Sastramijaya, Raden Sudhayasa. Konon, menurut Ali Sastramijaya, Raden Sudhayasa ini menjadi batara (bagawan) Budha, atau disebut “Dang upacaka agung Buddhayana Sarwastiwada.”


Jalan ceriteranya tidak jelas, sebab jika dilihat dari nama ayahnya (Prabhu Suryadewata) jelas ayahnya beragama Hindu (menggunakan nama Batara atau Dewa Surya). Sejak kapan, dan kenapa, Sudhayasa menjadi beralih agama Budha dan sekaligus menjadi bagawan atau bataranya, itu yang tidak ada keterangan.


2. Raden Darmasuci I


Pelanjut Batara Gunung Bitung adalah Raden Darmasuci I. Tidak ada kejelasan Darmasuci I ini menjadi apa dan di mana. Diduga ia menjadi “batara” juga dan masih di Gunung Bitung. Ali Sastramijaya menyebutnya menjadi batara Budhayana Sarwastiwada di daerah Talaga (mungkin hanya sekedar menyebut wilayah Talaga sekarang, atau menyebut “kerajaan Talaga”). Raden Darmasuci I banyak muridnya, karena ia “rajaguru” (menurut istilah Ali Sastramijaya; sama dengan “mahaguru”?) aliran Budhayana Sarwastiwada.


Tidak ada penjelasan nama asli Raden Darmasuci I ini. Darmasuci I jelas merupakan gelar pemerintahan, bukan nama asli. Oleh karena nantinya akan ada penerusnya yang bergelar sama (Darmasuci), maka di belakang namanya lazim dituliskan angka I (ke-1).



Sebelum lanjut, ada yang menulis darma “dalam” agama Budha itu terbagi tiga tingkatan, yaitu darmabakti, darmasuci, dan darmaagung. Darmabakti merupakan darma rakyat biasa, berbakti pada sesama dan negara. Darmasuci merupakan darma dalam pemerintahan. Darmaagung di tingkat yang lebih tinggi, tidak cuma pemerintahan, melainkan sekaligus kebataran/kebagawanan.


Jika menyimak sebutannya sebagai “dharma suci,” tahap kedua dari kedarmaan Budha, yang mengandung arti berdarma dalam pemerintahan, mungkin Darmasuci I ini yang memulai mendirikan “kerajaan-kebataraan,” tapi belum menjadi suatu kerajaan yang kelak disebut “kasunanan”–dalam istilah masa agak baru, yang dikepalai oleh seorang sunan, dan bernama Talaga. Gunung Bitung relatif jauh dari “talaga” (situ) Sangiang.


Kemungkinan lain, Darmasuci I ini telah bergerak lebih ke utara dari Gunung Bitung dan bermukim di Darmalarang, Talaga, sekarang (“larang” dapat mengandung arti suci). Namanya Darmasuci, tempatnya Darmalarang. Atau, karena berada di Darmalarang maka sesebutannya Darmasuci.


3. Bagawan (Batara) Garasiang


Ada yang menyebutkan bahwa “pimpinan kerajaan” Talaga selanjutnya diteruskan oleh Bagawan Garasiang. Ini juga tentu bukan nama aslinya. Disebut Bagawan Garasiang karena ia membuat padepokan di Pasir Garasiang (Bukit Garasiang) di perbatasan antara Kecamatan Talaga (Banjaran) dan Maja (Argapura), Majalengka. Bukit ini berada di “utara atas” dari “talaga” Sangiang.


Nama “garasiang” sendiri ada dua kemungkinan asal-usul. Pertama dari kata “grha” (rumah) dan “sanghyang” (yang suci, yang keramat, atau “yang di atas”). Jadi garasiang artinya rumah (padepokan) yang suci. Ini seperti Garawastu (nama desa) yang berasal dari kata “grha” (rumah, pemukiman), dan “vastu” tempat (kompleks). Kedua, dari kata “arga” (gunung) dan “sanghyang, ” sehingga mengandung arti gunung (bukit) tempat para sanghyang atau yang disucikan/dikeramatkan.


Pengertian yang kedua tampaknya yang lebih logis. Garasiang (argasanghyang) itu gunung (bukit) tempat keramat (suci) karena ada tempat pemujaan dan padepokan kebudhaan. Sayang tidak ada artefak tinggalan apapun di sana yang bisa ditemukan sampai saat ini. Mungkin tertimbun lahar Ciremay.


4. Darmasuci II (Talaga Manggung): “Raja Talaga”



Yang menjadi tampak agak “kontroversial” dengan Bagawan Garasiang adalah sebagai penerus Darmasuci I kenapa tidak disebut “Darmasuci II”? Jadi, Bagawan Garasiang diduga sebenarnya tidak pernah memerintah “kerajaan-kebataraan” Talaga. Ia menjadi bagawan di padepokan Garasiang, tidak di “kerajaan.” Itulah sebabnya kenapa sebutan Darmasuci II justru diberikan kepada adiknya yang kemudian dijuluki Sunan Talaga Manggung. Ini pasti berkaitan dengan “pewarisan tahta kerajaan-kebataran” dari Darmasuci I ke Darmasuci II.


Ali Sastramijaya pun tidak menyebut Bagawan Garasiang sebagai pelanjut “tahta” Kerajaan Talaga (Lihat lampiran di bawah). Yang disebut langsung penerusnya adalah Talaga Manggung. Talaga Manggung ini sebelumnya, konon, bergelar Darmasuci II (Ali Sastramijaya tidak menyebutkan ada gelar Darmasuci II).


Jika dirunut, maka sebenarnya “Kerajaan Talaga” itu mungkin saja baru benar-benar menjadi suatu kerajaan, bukan lagi padepokan kebataraan, atau kerajaan-kebataran, dengan nama Kerajaan Talaga, pada saat Raden Darmasuci II, yang tidak pernah disebut nama aslinya itu, menjadi raja, dan secara resmi menyebut nama kerajaannya, atau orang-orang menyebutnya dengan, Talaga.


Talaga itu danau kawah yang besar, atau “situ” (danau alami) yang besar. Talaga atau situ dimaksud adalah yang sekarang disebut Situ Sangiang. Adakah kemungkinan nama “situ” ini aslinya Sanghyang Talaga Dharma Agung (seperti Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya yang disebut dalam Prasasti Batutulis)? Tentang Dharma Agung nanti dibahas. Nama kerajaan diduga mengikuti daerahnya yang dekat atau mempunyai sebuah telaga keramat (“sanghyang talaga”), sehingga disebut Talaga.


Kenapa diduga nama Talaga itu baru ada masa Talaga Manggung? Batara Gunung Bitung jelas berada di Gunung Bitung. Darmasuci I tidak jelas sebagai apa dan di mana (kemungkinan juga masih di Gunung Bitung, atau di Darmalarang). Anak pertama Darmasuci I, yaitu Bagawan Garasiang, banyak menghabiskan waktunya di padepokan Garasiang. Belum ada “raja” yang disebut-sebut menggunakan “nama tempat/kerajaan” dengan nama Talaga (yang ada dengan nama Gunung Bitung dan Garasiang). Baru pada masa Raden Darmasuci II ada sebutan “Sunan Talaga.” Di bawah nanti akan dibahas lebih tuntas.


Jadi, kemungkinan besar Darmasuci II itulah yang mendirikan “kerajaan” di dekat sebuah situ. Situ itu disebut orang-orang ketika itu “talaga” (dari bahasa Sansekesrta “tadaga” artinya danau). Karena pusat pemerintahan berada di dekat talaga (“situ”), kerajaannya disebut Kerajaan Talaga. Oleh karena itulah maka Darmasuci II diberi julukan sebagai Sunan Talaga Manggung. Andaikata tidak pakai kata “manggung,” jadilah ia Sunan Talaga, sunan yang memerintah di Kerajaan Talaga. Ini akan sama dengan Sunan Cungkilak yang memimpin di daerah Cungkilak (dekat Campaga, Talaga sekarang), Sunan Benda di daerah Benda (belum terlacak, tentu daerah yang banyak pohon benda atau “bendo” (Jawa), alias teureup kata orang Sunda, dan Sunan Wanaperih (wana = hutan; perih/prih/preh = sejenis beringin).



Perubahan nama julukan itu wajar dilakukan seperti terjadi pada Pangeran Walangsungsang yang semula diberi gelar Pangeran Cakrabumi kemudian berubah jadi Pangeran Cakrabuana. Ini ceritranya.


Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.

Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.

Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.

Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.



Nah, di bawah ini dinukilkan catatan dari Wikipedia berkenaan dengan Kerajaan Panjalu yang menyebut-nyabit Kerajaan Talaga.


Kekuasaan kabataraan di Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan oleh Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung adalah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata adalah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan oleh puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan oleh adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.



Catatan:


Andaikata tahun pemerintahan Ajiguna Linggawisesa (1333-1340 M.) dipakai sebagai dasar merunut berdirinya Kerajaan Talaga, maka [jika dibuat rerata memerintah 40 tahunan--Suryadewata memerintah tahun . . . [1340-1380], dan Batara Gunung Picung (Bitung) mengelola kebataraan Gunung Bitung pada tahun . . . [1380-1420], lalu Darmasuci I pada tahun . . . [1420-1460], [lalu Bagawan Garasiang pada tahun .....(dianggap tidak memerintah], lalu Darmasuci II pada tahun . . .[1460-1500]? Jadi, Kerajaan Talaga itu mulai ada sebagai kerajaan, dan didirikan oleh Sunan Talaga Manggung, sekitar tahun 1460-an. Ini akan jadi “klop” dengan kisah perjalanan BUjangga Manik (antara 1475-1525). Nanti kita bahas lebih lanjut.


D. Gelar Talaga Manggung


Sekali lagi, harus disepakati bahwa nama kerajaan Talaga itu Talaga, bukan Talaga Manggung, sesuai yang disebut Bujangga Manik. Entah kenapa Darmasuci II diberi julukan Sunan Talaga Manggung. Salah satu kemungkinan adalah sebenarnya julukannya itu Dharmaagung. Dharmaagung merupakan peningkatan dari Dharmasuci.



Oleh karena, hipotetis, Dharmasuci II yang memulai mendirikan Kerajaan Talaga, sebagai yang benar-benar kerajaan, maka sebutannya sekaligus ditunjukkan dengan nama kerajaannya. Jjadilah julukannya Sunan Talaga, “Susuhunan Talaga.” Oleh karena ia pun juga “membagawan” atau “membatara” (“pandita-sinatria, satria pinandita” atau “batara-sinatria, satria-binatara“) dalam tataran puncak darma kebudhaan, diberilah juga julukan Dharmaagung, sebagai sang raja yang memerintah kerajaan sekaligus memangku tugas “kebagawanan/kebataraan.” Jadilah ia “Susuhunan Talaga Dharmagung.”


Bandingkan dengan gelar Sunan Gunung Jati “Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.” Sebagai “pejabat pemerintahan ia digelari “Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan,” dengan penegasan tempat “di Jati Purba.” Sebagai pemimpin agama ia dijuluki “Panetep Panatagama” sekaligus diyakini mempunyai derajat sebagai “Wali Allah, Kutub Zaman, dan Khalifah Rasulullah.” Begitulah bisa yang terjadi dengan Darmasuci II. Ia diberi gelar “Sunan” (susuhunan) menurut versi Sunda, yang berarti orang yang dimuliakan, yang “disusuhun luhureun sirah” (“nu sinembah ku asta kalih”).



Jadi, jika mengikut gelar Sunan Gunung Jati, maka gelarnya akan menjadi Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Talaga. Karena ia juga bawagan-sinatria yang mengemban tuga kewajiban darma kenegaraan dan keagamaan, diberi gelar pula ia dengan gelaran Sang Darmaagung . Lengkapnya jadilah gelarnya Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Talaga Dharmaagung, tersingkat menjadi Sunan Talaga Darmaagung.


Ada kemungkinan dalam pelisanan kata “Dharmaagung” itu luluh berubah menjadi “Dharmagung.” Lalu, karena pengaruh pelisanan, dongeng “saur sepuh” nu “tutur tinular,” kata “Dharmagung” itu berubah lagi menjadi “Magung,” dan lama-lama menjadi “Manggung.” Ini karena istilah “manggung” lebih dikenal baik oleh pelisan Sunda modern. Ingat kata “bharwang” yang berubah agak jauh jadi “berung” (Hujung Barang jadi Ujung Berung). Itu masih lumayan, bayangkan kata “pa-lingga-an” yang lama-lama berubah menjadi “bagelen” (Bagelen nama wilayah di Purworejo, Banyumas).



Kemungkinan lain, pada saat penyalinan dari naskah asli, tulisan “Sunan Talagadharmagung” dalam aksara Sunda (hipotetis) itu ada yang tak terbaca sebagian, menjadi “Sunan Talaga…gung” (aksara Sunda “cacarakan” tidak ada spasi antar kata, tapi mengenal huruf besar), yang lalu “ditebak” sebagai “Sunan Talaga Manggung.”


Kemungkinan kedua, sebenarnya tertulis “Sunan Talaga Ma Agung” yang mengandung arti Sunan (Raja Kerajaan) Talaga (yang diharapkan) semoga agung. Kata “ma” yang berarti semoga atau diharapkan dalam bahasa Sunda buhun ada dalam “prasasti Kawali 2″ yang berbunyi demikian.


Aya ma nu ngeusi bhagya kawali bari pakena kereta bener pakeun na(n)jeur na juritan.


[Semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].



Tapi, kalau toh harus mempersoalkan kata “manggung,” rasanya (berdasarkan kebudhaan), kata manggung sebagai perubahan dari kata Dharmagung (Dharmagung–”dharma kang agung”) lebih logis, sepertti Lurah Agung (jurang dangkal/lembah gede) menjadi Luragung (lurah-nya jadi rada hilang).


Lain lagi dengan Raffles (Lihat “Kerajaan Talaga … 9). Ia selalu menuliskan kata “Tumung’gung de Telaga a Cheribon” di bawah manuskrip (naskah kuno) yang ditemukannya di wilayah Talaga. Diduga istilah “tumung’gung” itu mengandung arti “ketumenggungan.” Tumung’gung de Telaga bisa jadi maksudnya ketumenggungan Talaga (sebagai bagian dari Galuh atau Pajajaran–ingat, tinggalan atau pusaka Talaga yang ditemukan “bule-bule” itu disebut pusaka Pajajaran yang ada di desa Talaga, bukan pusaka Kerajaan Talaga!).


Jadi, sebenarnya Talaga Manggung itu Tumenggung Talaga. Tambahan gelar Sunan sebagai pelengkap saja (ini jelas setelah masa para wali). Dengan kata lain, gelar Talaga Manggung yang sesungguhnya bisa jadi Raden Darmasuci II, yang kemudian diubah menjadi Raden Tumenggung Talaga (“Tumung’gung de Telaga,” kata Raffles). Gelar tersebut kemungkinan diperoleh dari Galuh/Pajajaran, yang sekaligus berfungsi sebagai pengukuhan akan adanya “katumenggungan Talaga” (bukan Kerajaan Talaga, hanya semacam “kabupaten”), sebagai bagian dari Kerajaan Galuh/Pajajaran.



Ingat pula bahwa Sunan Gunung Jati itu selain diberi gelar Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba, menurut “Gunung Sepuh’s blog” diberi gelar juga sebagai “tumenggung.”


Syarif Hidayatullah (1448-1568) setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ”Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah”.




Gelar Tumenggung diberikan karena Cirebon termasuk bagian atau wilayah dari kepemimpinan Demak, bukan “kerajaan” atau “kesultanan” yang mandiri.


E. Runtutan Historis Pendirian Kerajaan Talaga



Dari paparan di muka, jika dirunut asal mula berdirinya Kerajaan Talaga itu, maka dapat dikatakan sebagai berikut.


Pertama-tama berdirilah sebuah padepokan agama Budha di Gunung Bitung. Padepokan ini berada di sebelah utara Kawali (ibu kota Kerajaan Galuh, Ciamis utara sekarang), di wilayah Cikijing bagian selatan sekarang. Padepokan ini dipimpin oleh Bagawan Gunung Bitung (Raden Sudhayasa putra Raden Suryadewata).


Padepokan ini dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Darmasuci I. Dengan gelar Darmasuci (berdharma dalam pemerintahan) ini ada kemungkinan “padepokan”kebudhaan yang dipimpinnya sudah mulai “masuk” ke cikal bakal kerajaan, tetapi masih sebagai “kerajaan-kebataraan.” Artinya padepokan Darmasuci itu tidak sekedar padepokan saja, tetapi sekaligus mengendalikan pemerintahan rakyat setempat.


Padepokan ini kemungkinan masih di Gunung Bitung, agak jauh di selatan situ “Sanghiyang Talaga” sekarang. Tapi, bukan mustahil pula, karena tidak ada catatan yang pasti, “padepokan” Darmasuci itu berada di desa Darmalarang sekarang. Jadi Darmasuci menggeser pusat padepokan Budha dari Gunung Bitung ke arah lebih utara, dan karena sudah mulai “jauh” dari Kawali (Galuh) itulah maka seperti satu kerajaan tersendiri, dengan wilayah kekuasaan (pemerintahan) sendiri dengan jumlah rakyat yang cukup banyak. Sebutan Darmalarang mungkin berasal dari nama Darmasuci. “Larang” itu, menurut Kamus Jawa Kawi Indonesia, dapat mengandung arti “terlarang,” tidak sembarang orang boleh dan bisa memasukinya, dapat pula berarti menyendiri (menyepi) atau mengasingkan diri, dapat pula berarti suci. Jadi, tempat Darmasuci berada–khususnya tempat pemujaan dan sejenisnya–pun dianggap “suci” juga hingga terlarang memasukinya dengan sembarangan. Darmasuci, jadinya, sama dengan Darmalarang. Sekali lagi ini hipotesis, dugaan.


Putranya, Bagawan Garasiang, “bergeser” lebih ke utara lagi, ke dekat puncak Ciremay sebelah barat, “menyeberangi talaga Sangiang,” arah atas utara timurnya. Di perbukitan yang disebut Pasir Garasiang (seperti telah disebutkan, kemungkinan besar berasal dari kata “Arga Sanghyang”–gunung Sang Hiyang, bukit suci) ia mendirikan padepokan. Karenanya ia berjejuluk sesuai nama tempatnya, Bagawan Garasiang. Berdasar ini maka wajar pula jika selain ada “arga” (gunung) ada pula “tadaga” (talaga) Sanghyang yang diangap “suci” oleh masyarakat setempat saat itu.


Talaga yang diduga dianggap suci (“Sanghiyang Tadaga”) itu tidak sembarang orang boleh memasukinya, apalagi menempatinya. Jadi, Bagawan Garasiang (nama aslinya tidak diketahui) mendirikan padepokan di barat lautnya (utara agak ke barat), tidak “di dalam” kawasan Situ Sangiang. Darmasuci II (yang juga tidak diketahui nama aslinya) mendirikan pemukiman di sebelah baratnya, juga bukan di kawasan Situ Sangiang. Pada saat-saat tertentu (upacara dsb) baik Bagawan Garasiang maupun Darmasuci baru masuk ke kawasan ini. Tampaknya begitu.


Kerajaan diberi nama dengan Talaga tidak harus berarti berada di talaga (situ), tetapi bisa karena dekat talaga, dan atau mempunyai talaga (yang disucikan alias “keramat”) itu. “Sanghyang Tadaga” yang disucikan itu pasti lazimnya juga, saat itu, untuk pemakaman. Sekarang memang untuk pemakaman orang-orang tertentu yang “dikeramatkan” atau “mempunyai karomah” (kemuliaan). Antara lain dipercaya ada makam Sunan Parung (tampaknya lebih dimaksud Parung Gangsa atau Ragamantri yang bersama putri dan menantunya diperkirakan masuk Islam sekitar tahun 1530 M. Ini sebelum Bujangga Manik “mengunjungi” Walang Suji.



Makam Sunan Parung (Parunggangsa?) di Situ Sangiang


Jadi, Darmasuci II bermukim di bawah talaga yang sekarang disebut Situ Sangiang. “Di bawah talaga” itu ia secara resmi “memimpin” sebuah tempat yang kemudian di bawah kepemimpinannya menjadi besar, dan jadilah sebuah “dayeuh gede” (kota besar) untuk ukuran saat itu.


Tempat (“dayeuh”) itu dinamakan Walangsuji, karena aslinya banyak pohon walang dan pohon suji. Daun walang sebagai bumbu dapur (jenis kunir-kuniran) dan obat, pohon suji daunnya dipakai pewarna hijau berbagai makanan. Itu terjadi (dugaan analisis) sekitar pertengahan abad XV (bukan abad XIII atau tahun 1297–seperti banyak ditulis di berbagai blog). Oleh karena “kebesarannya” itu, maka penduduk daerah-daerah lain yang dipimpin oleh “murid-murid” kakek-buyut dan uwa-pamannya (Batara Gunung Bitung, Bagawan Darmasuci I, Bagawan Garasiang dll) mengakuinya sebagai “seorang raja.” Kerajaannya, karena dekat atau punya “Sanghiyang Talaga” yang disucikan disebut sebagai Kerajaan Talaga, yang lalu seolah lepas dari Galuh Kawali. Ia sendiri lalu disebut tidak lagi sebagai Dharmasuci, melainkan meningkat menjadi Dharmaagung (Dharmagung–> Magung–> Manggung). Ia Sunan (Prabhu, menurut sebutan Ali Sastramijaya) Talaga Manggung (Prabhu Talaga Dharmagung –dugaan analisis). Ali Sastramijaya mencatat yang disebut “raja Talaga” itu ya mulai dari Prabhu Talaga Manggung (Lihat catatan di bawah).


Seperti disebutkan, bisa jadi juga “Kerajaan” Talaga itu diakui keberadaannya mulai saat Raden Darmasuci II yang kemudian dikukuhkan sebagai suatu ketumenggungan (dari Pajajaran/Pakuan/Galuh). Pemimpinnya lalu disebut dengan Tumenggung Talaga. Hanya saja, tidak jelas kenapa keturunannya tidak ada yang disebut Tumenggung, semuanya menggunakan gelar Sunan. Mungkin, juga dugaan, karena para penulis “wawacan” atau “kanda” Talaga itu sudah terpengaruh budaya Mataram (abad XVII) yang banyak menggunakan istilah “susuhunan (sunan)” bagi para bangsawannya, maka dalam “naskah” buatan baru itu semuanya disebut dengan “Sunan” (untuk raja) dan “Dalem” untuk “lurah” di bawah raja.



Historis (sebagian) silsilah Kerajaan Talaga itu dilukiskan Ali Sastramidjaja sebagai berikut. Ali Sastramijaya tidak berani mencantumkan tahun (kala) masing-masing pelakon sejarah Talaga, karena memang “memusingkan kepala.”

Kala
KerajaanTalaga, wilayah Galuh
NamaPrabhu Surayadéwata [Suryadewata--Pen.]
Istri
AnakRaden Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung


Kala
KerajaanTalaga, wilayah Galuh
NamaRaden Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung
Istri
AnakRaden Dharmmasuci (Darmasuci I–Pen.]
CatatanRaden Suddhayasa atau Bhatara Gunung Bitung kemudian menjadi dang upaCaka agung Buddhayana Sarwastiwada di Gunung Bitung


Kala
KerajaanTalaga, wilayah Galuh
NamaRaden Dharmmasuci [Darmasuci I]
Istri
Anakraja Talaga [Darmasuci II-->Sunan Talaga Manggung--Pen.]
CatatanBeliau banyak pengikutnya dan siswanya. Oleh karena itu beliau lantaran rajaguru Buddhayana Sarwastiwada, di wilayah Ta­laga, yang termasuk daerah Galuh.


Kala
KerajaanTalaga, wilayah Galuh
Namaraja Talaga, ialah Prabhu Talaga Manggung
Istri
Anak1. Raden Panglurah [nama­nya], menjadi upaCaka, hi­dup di pertapaan;2. Ratu Simbakencana
CatatanSetelah Prabhu Talaga Manggung mangkat, kemudian diganti­kan oleh Ratu Simbakencana [Simbarkencana--Pen.], karena kakak Sang Ratu, yaitu Raden Panglurah tidak mau, beliau sudah menjadi sang upaCaka Bu­ddhayana Sarwastiwada di pertapaan, hanya beliau diberi tahu perihal pernikahan Ratu Simbar­kencana.


Kala
KerajaanTalaga, wilayah Galuh
Nama2. Ratu Simbakencana
Suami 1Sang Sakyawira, disebut Palembang Gunung, wafat tanpa putra
Anaktak berputra
Suami 2Raden Kusumalaya, pertapa Kuta­mangu
AnakSunan Parung, Sang Prabhu Parung
CatatanDengan Palembang Gunung, Ratu Simbarkencana tidak ber­putera. Setelah suami pertama meninggal, lalu bersuami lagi (tidak ada terusannya–karena hanya “iklan” –Pen.)

Baca juga:



[Klik tulisan di baris atas blog ini yang berbunyi "Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik", lalu klik pilihan tulisan yang muncul dalam "kotak hitam"]:


1. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (1) Talaga, Sindangkasih, Kabupaten Maja


2. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (3) Sumber Sejarah


3. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (4) Nama, Agama, dan Historis Pendirian


4. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (9) Melacak Situs dan Peninggalan