Beranda » Masjid Itu Bernama Jami Tua

Masjid Itu Bernama Jami Tua

Subuh hari. Sang dewi pagi belum muncul dari peraduannya. Embun yang selama ini tak pernah mengutuk matahari, masih telihat malas bermain di atas helai dedaunan. Dari kejauhan, terdengar lantunan shalawat dari corong masjid, mengusap mata membasuh hati untuk segera bergegas sujud di hadapan-NYA.

Sebuah masjid yang berusia 4 abad lebih, mulai disesaki jamaah yang senantiasa rindu untuk bertemu rabb-NYA. Sebuah masjid yang menjadi tonggak sejarah awal perkembangan agama Islam di Bumi Sawerigading kala itu.

Memasuki masjid ini, khususnya bagi mereka yang baru pertama kali menginjakkan kakinya, rasa heran dan decak kagum pastilah timbul. Mata akan dihadang sebuah tiang raksasa menjulang saat melangkahkan kaki ke dalamnya. Letaknya berada di tengah, menopang beberapa balok kecil yang saling bertautan antara satu dengan yang lain.

Memiliki tinggi 8,50 meter. Tiang bersegi 12 dan berdiameter 0,90 meter ini, terbuat dari kayu Tjina Goerih (baca: cina gurih). Kayu jenis ini sudah tidak ditemukan lagi, meski masih ada yang menyerupai namanya. Namun hanya berupa tumbuhan sebangsa perdu. Lantaran bentuknya bak bonsai, tumbuhan ini kemudian dipelihara orang sebagai tanaman hias.

Selain untuk menjaga keindahan, juga untuk memberikan perlindungan sebagai peninggalan cagar budaya yang wajib dilindungi, tiang ini kemudian diberi pengaman dengan memasang kaca di sekelilingnya. Konon, itu dilakukan, karena sebagian orang terkadang melakukan tindakan jahil dengan mengupasnya tiang tersebut, yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Selain tiang utama, terdapat 4 tiang lainnya yang berdiri kokoh mengapit. Hanya ukurannya tak sebesar tiang utama. Dari kelima tiang tersebut itulah, dianggap sebagai pencerminan rukun Islam.

Angin dingin masih enggan pergi, berhembus menusuk tulang dari balik lubang jendela besar yang terbuat dari batu pegunungan yang kokoh menantang. Jumlahnya sebanyak 20 buah, masing-masing jendela terisi 5 terali.

Tak lapuk dimakan usia. Begitulah Masjid Jami Tua. Didirikan tahun 1604 M, tak berselang lama sejak agama Islam masuk di wilayah Luwu tahun 1593. Saat itu, masjid pertama kalinya didirikan di Bua tahun 1594.

Tak banyak mengalami sentuhan artistik modern. Masjid Jami Tua tetap dipertahankan keasliannya. Atap masih terjalin rapi, terbuat dari daun Sirap berwarna hitam legam. Begitupula kondisi mihrab yang dipenuhi ukiran ayat-ayat Qur-an.

Dinding yang terbuat dari batu, tak sedikit pun bergeser dari tempatnya, walau jauh dari sentuhan semen. Menurut sejarah, pendiri masjid ini hanya menggunakan lem yang terbuat dari putih telur untuk merekatkan batu-batu tersebut.

Meski ada beberapa bagian yang direhab dengan pertimbangan keamanannya seperti kondisi pagar.

Bila sore hari, riuh bocah-bocah yang mempelajari kalam Allah terdengar dari arah belakang masjid. Mereka hanyut dalam irama yang dihasilkan senar-senar Qur-an. Sebuah Gazebo di halaman depan, terkadang digunakan sebagai tempat beristirahat. Tak jarang menjadi tempat berdiskusi para jemaah.

Masjid Jami Tua telah menjadi peninggalan sejarah, yang di dalamnya terukir catatan syiar Islam di Tana Luwu, sebagai awal perjalanan meniti jalur kebahagiaan dunia-akhirat
Muhammad Nursaleh