Beranda » Menerawangi “Indonesia Tua” di Gunung Padang

Menerawangi “Indonesia Tua” di Gunung Padang

Pertanyaan mengenai apakah orang-orang Nusantara, Sunda khususnya, merupakan bangsa tua di dunia, kerap terbersit dari pikiran banyak orang begitu mengunjungi situs megalitik Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat.

“Nenek kakek kami bercerita bahwa pada malam-malam tertentu di atas bukit sana, sering terdengar suara-suara musikal dan tempat itu menjadi terang benderang. Kami lalu menamai bukit ini dengan Gunung Padang (gunung terang),” kata Yuda Buntar, salah seorang pengelola situs purbakala itu kepada ANTARA, awal pekan ini.

Nenek moyang Yuda dan orang-orang sekitar Gunung Padang tak menyebutnya sebagai situs purbakala. Yang mereka tahu tempat itu keramat, sampai kemudian pada 1979 tiga warga kampung itu melaporkan situs tepat di puncak bukit tersebut, ke otoritas purbakala di Cianjur.

Segera daerah itu ditetapkan sebagai cagar budaya untuk bukti keluhuran kebudayaan lokal dan ketinggian peradaban asli Indonesia, khususnya orang-orang yang sekarang mendiami Tatar Pasundan.


Para arkeolog percaya bahwa Situs Megalitik Gunung Padang adalah situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.


Situs itu diperkirakan dibangun kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi atau sekitar 2.400 tahun sebelum kerajaan Nusantara pertama berdiri di Kutai, Kalimantan, atau kira-kira 2.800 tahun sebelum Candi Borobudur dibangun.


Melihat susunan batu dan pemilihan panorama lingkungan sekitar situs, siapa pun akan takjub pada betapa tingginya kebudayaan Nusantara purba.


Sumber material bangunan dan kualitasnya yang terpilih, serta orientasinya pada simbol-simbol keilahian khas era purbakala, seperti gunung dan samudera, membuat pengunjung menerawang bahwa betapa agung dan berperspektifnya peradaban purba Nusantara.


Tegak lurus dari situs, berdiri Gunung Gede yang sejak Kerajaan Pajajaran sudah dianggap sakral, atau jangan-jangan masyarakat Pajajaran hanya mewarisi tradisi kuno puak megalitik.


Jika dicermati lebih dalam, situs berisi serakan batu hitam bermotif itu, ternyata memuatkan keteraturan geometris, selain pesan kebijaksanaan kosmis yang tinggi, sebelum agama-agama modern masuk ke Nusantara.


Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian teratur rata-rata berbentuk pentagonal. Simbol “lima” ini mirip dengan tangga nada musik sunda pentatonis, da mi na ti na.



Keajaiban-keajaiban itu membuat orang takjub, khususnya para pengunjung situs. Banyak yang menyebut situs ini satu teater musikal purba, sekaligus kompleks peribadatan purba.


“Obelix harus ke sini,” kata seorang pengunjung dari Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti tertulis dalam buku tamu kesan dan pesan setelah mengunjungi situs megalitik Gunung Padang.


Obelix adalah salah satu tokoh dari duet Asterix-Obelix dalam komik “Petualangan Asterix” karya Rene Goscinny dari Prancis, yang mengisahkan para ksatria Galia, Prancis awal, di era Romawi kuno.


Poligonal


Untuk mencapai situs, seseorang harus menapaki dulu 468 anak tangga batu endesit yang direkonstruksi, begitu bukit itu ditetapkan sebagai cagar budaya. Tangga batunya pun dibuat dengan hitungan matematis, dengan bilangan lima terlihat dominan.


Kalau Babylonia menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7, maka di Gunung Padang, bangsa kuno Nusantara yang mendiami tanah Pasundan ini “memuja” bilangan lima.



Di pelataran undak pertama, pemandangan menakjubkan terhampar dari seluruh konstruksi situs yang disusun dari kolom-kolom batu berdimensi kebanyakan segi lima, dengan permukaannya yang halus.


Batu-batu itu dipasang melintang sebagai tangga dari kaki bukit sampai pintu masuk situs. Di puncak bukit, pada pelataran pertama, pintu gerbangnya diapit kolom batu berdiri.


Sejumlah pakar menilai batu-batu itu tidak dibuat manusia, melainkan hasil proses geologis ketika aliran magma membeku, seperti terbentuknya retakan-retakan poligonal ketika lumpur mengering.


Proses serupa membentuk situs tanggasegi enam raksasa di Giant Causeway, Irlandia atau Borger-Odoorn di Belanda. Semuanya terjadi saat proses pendinginan lava menjadi batuan beku yang umumnya berjenis batu andesit.


Gunung Padang sendiri diperkirakan terbentuk dari hasil pembekuan magma, sisa gunung api purba era Pleistosen Awal, 21 juta tahun lalu.


Para pakar menilai, gunung itu adalah sumber alamiah kolom batu penyusun konstruksi situs, terbukti dari berserakannya kolom-kolom batu alamiah yang bukan dari reruntuhan situs yang banyak ditemukan di kaki Gunung Padang.


“Memang, batu-batu sejenis bisa dengan mudah digali dari kaki Gunung Padang ini,” kata Yuda, seraya menunjuk tumpukan batu andesit berbalut tanah merah di seberang jalan dan dekat dapur rumahnya.


Namun, masyarakat setempat percaya, seperti dituturkan Ahmad Zaenuddin, salah seorang pengelola situs sekaligus pelaku konstruksi situs megalitik Gunung Padang, batu-batu andesit di lokasi situs terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir.



Kemudian, dicuci di satu empang yang tempatnya sekarang disebut Kampung Empang yang hingga kini terhampar serakan sisa-sisa ukiran batu purba. Kedua kampung berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.


Batu-batu andesit sendiri hanya ditemui di sekitar Gunung Padang. “Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tak ada lagi batu-batu besi seperti itu,” kata Zaenudin.


Kaki Cikuta dan Kali Cipanggulaan adalah dua sungai kecil yang mengapit situs Gunung Padang yang telah dicatat arkeolog Belanda, N.J. Krom, pada 1914.


Gunung Padang sendiri bukan satu-satunya kompleks tradisi megalitik. Masih ada peninggalan tradisi megalitik sekitar Cianjur di Ciranjang, Pacet, Cikalong Wetan dan Cibeber.


Yang pasti, situs megalitik Gunung Padang yang dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dari kota Cianjur itu adalah yang paling menakjubkan dan paling agung.


Sayang, satu kilometer menuju lokasi, kondisi jalan menuju situs amat buruk, di samping penunjuk arah situs yang tak jelas. Lain dari itu, Situs Megalitik Gunung Padang tampaknya harus lebih dirawat dan dilindungi lagi. (*)


Musik Purba dari Cianjur Selatan?



Sumber: http://qmuse.wordpress.com/2008/03/22/musik-purba-dari-cianjur-selatan/


Mengapa manusia suka pada musik? Dan mengapa hanya musik-musik tertentu? Percaya atau tidak, ini masih teka-teki yang belum terpecahkan hingga saat ini. Ada sesuatu di serabut-serabut kelabu kita sehingga untaian nada tertentu menjadi imbang, sementara suara-suara lain seolah adalah falsetto dan kurang indah. Musik paling tua yang pernah diumumkan mungkin adalah musik tulang yang ditiup (bone whistles) di kawasan Hemudu, China yang diduga telah ada semenjak 5000-4500 SM, kemudian ada pula temuan instrumentasi mirip harpa dan lira di kawasan Mesopotamia, Irak yang diduga telah berusia 5000 tahun. Tanah nusantara mungkin tak ketinggalan. Sebuah arahan penelitian menunjukkan ada kemungkinan penemuan instrumen musik kuno di Cianjur Selatan, di sebuah desa Campaka, Jawa Barat. Di sebuah situs megalitikum yang diduga didirikan pada tahun 2500 SM, terdapat batu-batuan raksasa yang jika dipukul menghasilkan nada-nada tertentu. Nusantara kita nan kaya dan hebat…


Di kawasan perkebunan teh itu ada sebuah situs kuno megalitikum, dinamai situs megalitik Gunung Padang, di kawasan Cianjur Selatan, Jawa Barat. Ini mungkin adalah situs megalitikum terbesar di kawasan Asia Pasifik karena luasnya lebih dari 3 kilometer persegi. Di tengah puing-puing ini, terdapat sekelompok bebatuan berbentuk persegi yang jika dipukulkan akan menghasilkan bunyi-bunyi berfrekuensi tinggi. Kita bisa menonton lokasi gambarannya dari link YOUTUBE ini.





Belum diketahui pasti, dimaksudkan sebagai tempat apa sebenarnya puing-puing bangunan purba ini ketika didirikan. Kita masih menunggu hasil penelitian arkeologis, antropologis, tentang hal ini. Situs ini baru dilaporkan diketemukan sekitar tahun 1979 oleh penduduk setempat dan saat ini masih dalam kajian-kajian untuk memastikan fungsionalitasnya. Yang jelas di sini tersimpan sesuatu informasi yang kita belum tahu tentang keberadaan diri kita, tentang mereka yang pernah tinggal di tanah tercinta ini, tentang nenek moyang kita atau bisa jadi penduduk asli yang dibasmi oleh nenek moyang kita dalam perebutan tanah yang kita sebut nusantara ini.


Di sebuah lokasi sempit di dalam lokasi ini, terdapat sekumpulan batu, ada beberapa di sana yang tergeletak sedemikian dengan panjang lebih dari 1.5 meter dan lebar serta ketebalan lebih dari 25 cm. Beberapa batu besar ini jika dipukul dengan batu lain yang lebih kecil maka akan memberikan bunyi berfrekuensi dalam interval 2500-5000 Hz. Range frekuensi bunyi yang masuk dalam kategori bunyi yang bisa kita dengar. Ketika batu-batu itu dipukul-pukulkan sedemikian, maka diperoleh spektrum nada-nada yang unik sekali. Terdapat kecenderungan, satu batu menghasilkan satu frekuensi yang sama – yang dimaksudkan untuk representasi satu nadakah? Ini tentu merupakan penemuan yang mengejutkan! Ada instrumentasi musik dari zaman megalitikum!




Ada sekitar beberapa batu yang dipukul-pukul, dan berhasil diekstrak 4 batu yang dipukul dan menghasilkan 4 frekuensi yang dapat dipetakan ke dalam tangga nada yang kita kenal saat ini. Empat nada ini, bisa didengarkan di sini,



>>> empat nada purba <<<


Yang kemudian direkonstruksi menjadi empat nada dalam tangga nada yang kita kenal:



…untaian bunyi dengan nada f”’ – g”’ – d”’ – a”’ yang bisa jadi adalah urutan nada pentatonik? Kalau benar peradaban kuno ini telah mengenal nada pentatonik, mungkin nada yang hilang adalah nada-nada di antara nada pertama dan kedua, karena jarak larasnya yang agak jauh antara kedua nada tersebut. Rekonstruksi nada-nada ini bisa didengar pada file mp3 berikut ini:


>>> rekonstruksi nada purba <<<




Dari sisi ukurannya, jika ini adalah benar alat musik kuno, maka ini merupakan alat musik yang sangat besar dan sulit dibayangkan jika dimainkan oleh satu orang. Sangat mungkin pemainnya adalah sekelompok orang yang secara bergantian memainkan lagu-lagu secara monofonik. Wow, sungguh mengherankan dan menarik sekali. Bayangkan ada peradaban purba yang belum mengenal tulisan, namun sudah mengenal konsep kerja sama dalam menghasilkan bentuk-bentuk estetika suara.


Ini merupakan suatu hal yang sangat memperkaya khazanah pengetahuan kita akan sejarah musik dunia. Banyak pertanyaan baru akhirnya timbul, termasuk pertanyaan siapakah mereka ini? Apakah mereka adalah nenek moyang orang Sunda? Jika ya, berarti ada fasa prasejarah dengan tradisi megalitikum di kalangan orang Sunda? Situs ini menyimpan banyak hal yang memperkaya wawasan mereka yang kini tinggal di Jawa Barat, dan kepuluaan Indonesia secara umum, bahkan mungkin dunia, karena mungkin inilah temuan pertama tradisi megalitikum di mana instrumentasi musik pukul ditemukan pertama kali. Wallahualambissawab!



Situs Megalith paling Ajaib !! situs ini berusia sekitar 5000 tahun..orientasi situs ini mengarah ke puncak gunung gede, setelah ditelusuri melalui google earth ternyata ada 5 puncak gunung yang berada dalam satu garis lurus..5 puncak gunung tersebut merupakan mirror dari situs megalith itu sendiri yang mempunyai 5 undakan...batunya berbentuk batang dengan 5 sisi ( pentagonal )...batu gamelannya di-indikasi-kan menghasilkan nada pentatonis..AJAIB !!