Beranda » Munculnya nama Blitar

Munculnya nama Blitar

1315677306457633175



Keberadaan nama Blitar di Kota mapun Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur hingga kini masih simpang siur akan arti namanya. Namun melihat dari tinggalan karya sastra masa lampau kita akan memperoleh data yang cukup baik bila kita tidak mencari arti kata “Blitar”, melainkan melihat munculnya nama Blitar itu sendiri. Adapun prasasti yang ditemukan di Kelurah Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar yang berasal dari masa Raja Jayanegara yang bertarikh saka 1246 (1324 Masehi) , tidak memuat nama Balitar, dikarenakan prasastinya aus. Sedangkan karya sastra yang dapat menjadi acuannya adalah Kitab Nagarakrtagama. Pertama-tama adalah perjalanan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang dilaksanakan tiap tahun yaitu,


“… Yan tan mangka mareng phalah mareki jong hyang acala pati bhakti sadara, pantes yan panulus dhateng ri balitar….”, yang artinya “….. bila tidak demikian Baginda pergi ke Palah memuja Hyang Acala Pati, dengan bersujud, biasa juga terus ke Balitar (Riana, 2009: 116).


Selain itu juga termuat dalam kisah kunjungan Hayam Wuruk ke Simping


…. Ndan ring saka tri tanu rawi ring wesaka, sri na-/- tha muja mara ri palah sabrtya, {30a} jambat sing ramya pinaraniran langlitya, ri lwang wentar manguri balitar mwang jimbe. …..”, artinya “… lalu pada tahun saka Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka—April-Mei, Baginda Raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya, berlarur-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan di Jimbe….” (Riana, 2009: 302-306).

Sealanjutnya nama Blitar juga disinggung dari uraiaan naskah perjalanan Bujangga Manik yang dimana diuraikan bahwa setelah dari Rabut Palah, Bujangga Manik mengunjungi daerah Balitar melewati Waliring, dan Polaman. “…Leu(m)pang aing marat ngidul, nepi aing ka Waliring, ngalalaring ka Polaman, datang aing ka Balitar…” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 304).
Nama Palah atau Rabut Palah kini berubah menjadi Kompleks Candi Penataran yang dimana di depan Candi Induk terdapat Prasasti Palah pada masa era Kerajaan Panjalu (Kadiri) dibawah pemerintahan Raja Crngga atau Krtajaya. Nama Balitar sekarang dengan pasti dapat di identifikasikan menjadi sebuah kelurahan yaitu Kelurahan Blitar yang terletak di Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Dari tinggalan arkeologi di Kelurahan Blitar terdapat kompleks makam seorang tokoh yang sebagian besar masyarakat Blitar meyakini salah satunya sebagai tempat makam Adipati Aryo Blitar. Pada halaman samping barat cungkup makam terdapat reruntuhan struktur bangunan kuno yang ditata ulang kembali.
Dalam Kakawin Nagarakrtagama juga disebutkan adanya tanah sima bagi Desa Kapungkuran. Perdikan tersebut kini tetap digunakan hingga sekarang sebagai nama Dukuh di Kelurahan Blitar yang dimana terletak di selatan makam Aryo Blitar berada. Disebelah timur laut Makam Kapungkuran terdapat urung-urung (saluran air) yang terbuat dari batu bata yang menghubungkan dari daerah utara dan selatan, namun sayang sekali urung-urung tersebut kini sudah tertimbun dan di atasnya menjadi rumah. Pada radius 500 meter ke selatan di komplek Makam Tilara dahulu telah ditemukan dinding batu batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) yang kini menjadi sawah serta tinggalan lainnya berupa tiga jambangan yang terbuat dari batu andesit (Danardhana, 1977: 18-19). Keberadaan tinggalan tersebut sebagian besar tidak dapat ditemukan kembali. Kemungkinan besar dahulu tempat ini merupakan sebuah bangunan candi dan patirthan masa Majapahit.
Sebagai pendukung keletakan Kelurahan Blitar pada masa lampau pada tahun 1848 kediaman Bupati Blitar yaitu R.M Aryo Ronggo Hadinegoro di Desa Blitar dan masjid yang di bangun oleh penghulu I Blitar yaitu Kyai Imam Besari pada tahun 1820 Masehi di terjang muntahan letusan Gunung Kelud yang mengalir ke Sungai Lahar di dekat kediamannya. Selanjutnya dipindahkan ke Kepanjenlor yang kini menjadi Kantor Bupati Blitar.

Ferry Riyandika