Beranda » Sahabat Nabi

Sahabat Nabi

TULISAN ini saya dibuat karena teringat pada sebuah jurnal Historia Madania (Edisi I, 2011) yang diterbitkan Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di dalamnya ada tulisan berjudul “Mendefinisi Ulang Makna Sahabat” karya Ajid Hakim, dosen di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.




Tulisan tersebut setelah dibaca tidak ada yang baru, malah hanya menyampaikan dari tulisan atau catatan lama yang sebetulnya sudah terbilang basi. Yang cukup renyah dan sebagai penyampai informasi mungkin kutipannya dari buku “Sahabat Nabi” karya Fuad Jabali yang pernah didiskusikan bersama Ajengan Jalal (Jalaluddin Rakhmat) di UIN Bandung pertengahan 2011. Alhamdulillah, saya hadir dan menyimak hingga usai serta membuat ulasannya yang sudah dipublikasikan dalam blog: www.ahmadsahidin.wordpress.com.



Berbicara tentang Sahabat Nabi Muhammad saw, saya kira perilakunya dapat dilihat pada Surah Al Fath ayat 18, Al-Bayyinah ayat 8, Al-Hujurat ayat 2, dan Al-Jumuah. Apalagi dalam sejarah terdapat beberapa sahabat ternyata ada yang tidak patuh terhadap perintah Nabi Muhammad saw. Kasus Perang Uhud, Pasukan Usamah, Perjanjian Hudaibiyah, dan lainnya menjadi fakta yang tak dapat dipungkiri. Dalam surah Al Jumuah, diceritakan bagaimana sejumlah sahabat diberi peringatan karena meninggalkan Nabi Muhammad saw yang sedang khutbah Jumat. Para sahabat meninggalkan khutbah karena menyaksikan kelompok pemusik yang lewat kala itu. Bahkan, terdapat sahabat yang mencari-cari alasan supaya tidak ikut perang melawan kaum kafir.



Sahabat sangat berbeda dengan keluarga. Ikatan keluarga lebih kuat ketimbang sahabat. Seorang yang melakukan persahabatan tidak akan langgeng. Kalau diketahui bahwa seorang sahabat itu tidak menolong, bahkan berupaya menyingkirkan, pasti sudah bukan lagi sahabat. Mungkin layak digelari musuh. Masa Nabi Muhammad saw, masayarakat Madinah dan Makkah yang hidup sezaman dengan Nabi dan beragama Islam disebut generasi sahabat. Parahnya, keluarga pun disebut sahabat. Misalnya Imam Ali bin Abi Thalib yang merupakan keponakan Nabi oleh beberapa penceramah disebut sahabat. Mereka yang menyatakan demikian sumbernya tidak jelas. Mungkin hanya mengira dan melihat rangkaian penguasa Islam setelah Rasulullah saw: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Abi Thalib. Mereka ini disebut sahabat. Kalau yang tiga orang memang layak disebut demikian. Namun, yang terakhir bukan hanya dekat, bahkan menjadi pemegang otoritas keagamaan setelah Rasulullah saw. Sejarah Islam menyebutkan Rasulullah saw pada 18 Dzulhijjah 11 Hijriah di Ghadir Khum melantik Imam Ali sebagai maula dan washi; yang dipahami sebagai penyampai risalah sekaligus pemilik wewenang kepemimpinan Islam setelah Sang Nabi.

Hadis Ghadir Khum tersebut diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Zaid bin Arqam dan Musnad Ahmad Hanbal. Bahkan disebutkan bahwa pusaka atau wasiat Rasulullah saw yang harus dipegang umat Islam dan dijadikan rujukan adalah Kitab Allah (Quran) dan Itrah Ahlulbait (hadits dan sunah yang bersumber dari Keluarga Nabi). Kalau ingin tahu lebih mendalam mengenai ini silakan baca buku DUA PUSAKA NABI karya Ali Umar Al-Habsyi yang diterbitkan Al-Ihya, Jakarta.
Anehnya, orang-orang Islam sekarang tidak mengetahuinya. Mungkin para penceramah tidak merujuk pada kitab-kitab hadis dalam menyampaikan ceramahnya. Mungkin hanya sekadar mengulang kembali apa yang disampaikan gurunya tanpa melakukan pengecekan pada sumbernya. Semoga aja para penceramah zaman sekarang dan yang lulusan sekolah-sekolah agama tidak lagi sekadar ‘ngawulang atawa ngawuruk’
Ahmad Sahidin