Beranda » Sepenggal Tanah Belanda di Teluk Jakarta

Sepenggal Tanah Belanda di Teluk Jakarta

Bulan Agustus telah lewat dengan senyap. Tanggal 17 kemarin kita memeringati kemerdekaan negara kita. Tiba-tiba kita diseret ke hal-hal yang berbau patriotisme. Semua media mengangkat berbagai aspek berkait dengan nasionalisme. Dan tentunya cerita tentang perang kemerdekaan. Hal yang paling menonjol tentunya patriotisme para pembela kemerdekaan. Dan pahlawan perang kemerdekaan kembali mendapat tempat dalam wacana keseharian kita.



Di kancah perang manapun, akan selalu muncul pahlawan dan cerita kepahlawanannya. Kita punya berjibun pahlawan, dengan peran heroiknya masing-masing. Namun, selain pahlawan, setiap perang tentunya memakan pula korban. Pertanyaan yang senantiasa mengganjal saya adalah, di manakah posisi korban dalam sejarah perang kemerdekaan kita?


Kita memiliki Taman Makam Pahlawan Kalibata, tempat bersemayam para pahlawan nasional. Setiap daerah juga memiliki taman makam pahlawannya masing-masing. Tetapi di manakah makam para korban perang kemerdekaan? Di manakah kita pernah melihat tugu peringatan korban kekejaman perang di negeri ini? Memang, di Karawang terdapat monumen Rawagede sebagai peringatan kekejaman tentara Belanda. Sayangnya kawasan itu justru dijadikan Taman Makam Pahlawan. Padahal yang gugur di Rawagede pada saat pembantaian tanggal 9 Desember 1947 adalah rakyat yang menjadi korban perang kemerdekaan.


Berawal dari rasa penasaran saya saat mengamati burung di Ancol, saya menelusuri pantai sampai ke ujung kawasan ancol untuk mencari sebuah komplek makam. Saya masih ingat, dulu ada kuburan Belanda yang letaknya tak jauh dari teater mobil. Dahulu, waktu berjalan-jalan dengan abang saya, kami beberapa kali ke tempat ini dan terkagum-kagum melihat deretan kuburan dengan tonggak salib yang terkesan angker itu. Belakangan saya ketahui bahwa komplek makam itu adalah Ereveld Ancol.



1316057613837109015




Ereveld Ancol, tempat korban kekejaman tentara Jepang di Perang Dunia II dimakamkan.


Berada di dalam komplek ereveld, terasa seperti tercerabut dari tanah Indonesia. Tiba-tiba kita seperti mengunjungi sepenggal tanah Belanda. Di komplek makam yang dikelilingi pohon-pohon bakau itu kita dapat melihat jejeran pusara bernisan salib yang berbaris dan berbanjar begitu rapihnya. Monumen beton di bagian depan dengan bendera merah-putih-biru berkibar perlahan, memberi suasana seperti di sebuah sudut hutan di kota Leiden.



Yang menarik dari Ereveld Ancol (dan ereveld lainnya di Indonesia) adalah, itu bukanlah taman makam pahlawan. Tetapi taman makam untuk korban perang dunia kedua. Baik yang sipil maupun militer. Mereka merawat dan melestarikan taman makam itu sebagai bukti sejarah tentang korban kekejaman perang. Konon, tempat tersebut memang dahulunya menjadi lokasi tentara Jepang mengeksekusi mati para tawanan perang dari pihak Belanda (meski terdapat pula kuburan orang-orang Indonesia di kompleks Ancol).


Kita seringkali mendengar kisah kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Salah satu yang terkenal adalah cerita kerja paksa yang disebut rodi. Konon, banyak korban yang meninggal akibat kerja paksa membangun jalan antara Anyer dan Panarukan. Korban bergelimpangan di sepanjang raya pos yang terkenal itu. Tetapi di manakah makam korbannya? Kita juga sering membaca sejarah tentang kekejaman bala tentara Jepang yang fasis itu. Mereka menerapkan kerja paksa yang tak kalah kejamnya. Romusha namanya. Tapi di mana makam korban romusha?


Di sepenggal tanah Belanda di utara teluk Jakarta itu justru kita dapat menyaksikan monumen untuk para korban. Tempat anak cucu korban dapat berziarah dan mencerna sejarah tentang bagaimana kejamnya perang dan bagaimana menghargai korban. Tempat di mana mereka diajarkan tentang rasa kehilangan untuk lebih menghargai kemanusiaan.


Ironisnya, baru-baru ini ditemukan makam almarhum Prof Dr Achmad Mochtar di Ereveld Ancol. Beliau adalah Direktur Lembaga Eijkman yang dipenggal kepalanya oleh tentara pendudukan Jepang pada tanggal 3 Juli 1945, tepat 65 tahun lalu. Beliau dituduh memimpin tindakan sabotase terhadap Jepang, yakni mencemari vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) dengan bakteri dan toksin tetanus. Ia dituduh menyuntikkan vaksin mematikan itu kepada ratusan romusha. Ia mengorbankan nyawa dan reputasinya asalkan sejawat-sejawatnya dibebaskan tentara Jepang.


Tindakan heroiknya menyelamatkan nyawa rekan sejawatnya. Tapi bagi tentara Jepang dia hanyalah sekadar kambing hitam. Yang pasti dia adalah korban kekejaman tentara pendudukan Jepang. Dan ternyata sebagai korban, Belanda lebih menghormatinya ketimbang pemerintah kita. Untungnya dia dimakamkan di Ereveld Ancol. Kalau tidak, mungkin tak akan pernah jelas di mana keberadaannya hingga kini.


Pertanyaan saya memang agak menggugat. Barangkali karena saya teringat kisah kakek saya dari pihak ibu. Beliau adalah pedagang keliling di jazirah Sulawesi bagian utara. Dari Gorontalo, Kotamubagu, Manado, hingga ke Bitung. Dalam perjalanan dagangnya, dia dicurigai oleh tentara Jepang sebagai mata-mata bagi laskar Nani Wartabone (pejuang kemerdekaan dari Gorontalo). Menurut cerita ibu saya, pada suatu malam dia dijemput oleh tentara Jepang dan tak pernah kembali lagi sejak saat itu. Konon, setelah ditangkap dia dijadikan romusha sampai kemudian meninggal dunia. Mungkin dia memang mata-mata bagi tentara pejuang, mungkin tidak. Yang pasti, dia adalah korban. Seperti juga korban romusha lainnya, keberadaannya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tidak pernah jelas. Hingga kini tidak ada yang tahu pasti di mana dia meninggal dan dikuburkan.

Kalau saja ada monumen romusha, atau monumen rodi, atau apalah untuk menghormati korban kekejaman perang. Barangkali ibu saya dapat berziarah sambil mengajarkan anak-anaknya mencerna sejarah tentang bagaimana kejamnya perang dan bagaimana menghargai korban. Barangkali saya dapat mengunjungi tempat di mana anak saya dapat diajarkan tentang rasa kehilangan untuk lebih menghargai kemanusiaan. Dari monumen itu, barangkali, saya dan anak saya dapat lebih memahami apa makna kemerdekaan.
Roelus Hartawan