Beranda » Aceh Asal Mula, Tambora Jalan Pembuka

Aceh Asal Mula, Tambora Jalan Pembuka




Ekspedisi Cincin Api ini merupakan mimpi lama yang menjadi nyata. Mimpi untuk membuat peliputan media tentang bencana. Bukan setelah petaka itu terjadi dan untuk meratapinya, tetapi lebih untuk mengingatkan masyarakat agar bersiaga terhadap bencana baru yang mungkin terjadi. Mengingatkan, bahwa negeri ini berada di belahan bumi yang paling bergolak.


Aceh adalah asal mula. Tiga tahun tinggal dan bertugas di Aceh, sejak dua hari setelah bencana gempa dan tsunami menghancurkan daerah ini pada 26 Desember 2004, telah menyentak kesadaran. Kenangan dua minggu sebelum petaka, saat tinggal di sana guna meliput konflik Aceh menambah kepedihan. Beberapa kawan terdekat hilang tersapu tsunami yang menewaskan lebih dari 160.000 warga Aceh.


Kenapa petaka sedemikian besar itu terjadi di ujung barat nusantara, merenggut sedemikian banyak saudara dan rekan?


Saat membuka lembaran kisah lama, petaka dengan kekuatan serupa Aceh—atau setidaknya mendekati—ternyata telah berkali-kali terjadi. Nusantara, dari ujung timur di Papua hingga ke Aceh, ibarat berdiri di atas tungku api yang mendidih, yang dibakar oleh kompleksitas geologi yang menyusunnya. Beberapa peradaban lama yang pernah jaya, kemungkinan juga tergusur dan dipindahkan oleh bencana.


Jalur gunung berapi



Di balik berkah kesuburan tanah dan keragaman hayati, nusantara ternyata berada di jalur gunung berapi teraktif di dunia: Cincin Api Pasifik. Jalur ini, yang melingkar dari Amerika Selatan, Kanada, Jepang, Pilipina, membuat simpul di Indonesia, hingga ke Kepulauan Pasifik adalah rumah bagi 90 persen gempa di bumi. Selain itu, kita juga berdiri di atas tiga tumpukan lempeng benua yang hiperaktif: Indoaustalia, Eurasia, dan Pasifik.


Tak heran jika, nusantara menjadi rumah bagi letusan-letusan gunung api terkuat yang pernah terjadi di bumi, Krakatau di Selat Sunda berada dalam skala 6 Volcanic Explosivity Index (VEI), Tambora di Sumbawa berada dalam skala 7 VEI, dan Toba dari Sumatera Utara berada dalam skala 8 VEI atau tingkat tertinggi dari skala yang menggambarkan kekuatan letusan gunung berapi di bumi.


Tetapi, kisah-kisah tentang petaka itu, yang sebagian berupa dongeng dan mitos, seperti tenggelam dalam berbagai masalah politik, korupsi, dan ekonomi yang membelit. Tetap saja, kita lebih terbuaikan dengan kisah tentang negeri subur ibarat untaian zamrud di garis katulistiwa, dibandingkan mengangankan negeri yang rentan bencana dan menuntut untuk waspada.


Kearifan tradisional


Saat menelisik lebih dalam ke kisah lama, ironi tentang negeri yang berada di lingkaran Cincin Api dunia ini semakin terpampang. Selama ribuan tahun sebelumnya, nenek moyang kita ternyata mengembangkan teknik untuk beradaptasi dengan berbagai bencana alam itu. Desain rumah-rumah tradisional di nusantara, nyaris semuanya aman gempa, mulai dari rumah Nias, Batak, Karo, Jawa, dan lain sebainya. Tak hanya materialnya yang dari kayu, teknik konstruksi yang dibuat juga tahan dengan goyangan gempa.


Di Pulau Simeulue, Aceh, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan strategi budaya ”smong” dalam menyiasati tsunami yang kerap melanda. ”Nga linon fesang smong,” demikian kepercayaan masyarakat setempat: ’setelah gempa akan datang tsunami.’



Smong merupakan kata-kata ajaib yang menyelematkan warga Simeulue saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Waktu itu, ”hanya” tujuh orang di Simeulue yang meninggal akibat tsunami, dibandingkan dengan ribuan rumah yang tersapu gelombang ini. Warga di sana telah meninggalkan rumah, sesaat sebelum tsunami tiba.


Smong yang dalam bahasa lokal berarti ombak yang bergulung, seperti kata-kata yang ajaib. Begitu mendengar kata smong, warga Simeulue akan berlari ke luar menuju satu titik: perbukitan. Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan kolektif mereka terhadap bencana tsunami yang melanda pulau ini ada 1907, bahkan mungkin lebih lama lagi.


Di Pulau Mentawai, masyarakat setempat mengembangkan pola hidup menjauh dari laut yang kerap mengirim tsunami. Walaupun mereka tinggal di kepulauan, tetapi, pusat orientasi budaya mereka adalah hutan di pedalaman pulau. Selama ribuan tahun, mereka seperti sengaja menjauh dari laut, dan baru pindah ke daratan setelah para migran dan Orde Baru membangun kota-kota baru di pesisir sejak tahun 1970-an.


Tata ruang dan pembangunan baru yang berorienteasi pada pertumbuhan dan alasan politik praktis telah mengabaikan kearifan lama maupun strategi teranyar untuk menghadapi bencana gempa, gunung berapi, dan tsunami. Kota-kota dianyam di atas jalur patahan, rumah di bangun dengan batu bata dengan tulangan seadanya sehingga tidak aman gempa, diletakkan di pesisir yang rentan dilabrak tsunami, mapun di lereng gunung berapi.


Usulan ekspedisi


Kapan dan kenapa kita seperti terputus dengan strategi adaptasi yang telah dirintis nenek moyang kita? Bagaimana sesungguhnya sejarah dan peta bencana di negeri ini dan kenapa kebanyakan masyarakat lupa? Kenapa sedemikian banyak petaka karena fenomena geologi terjadi di negeri ini? Kenapa warga selalu kembali ke tanah mereka setelah bencana merenggut sedemikian banyak kerabat mereka? Bagaimana pola strategi baru yang mesti disiapkan guna mengadopsi penemuan-penemuan baru di bidang teknologi terkait tiga bencana geologi ini?


Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggelayuti pedalaman kepala sekembali dari Aceh pada pertengahan 2007. Apalagi dalam kurun 2004 dan 2007, juga terjadi gempa dan tsunami di tempat lain di nusantara, yang semakin menorehkan luka mendalam.



Pada Agustus 2007, usulan ekspedisi Cincin Api (waktu itu masih menggunakan istilah Ring of Fire) disampaikan ke Dewan Redaksi Kompas. Namun, berbagai soal lain rupanya lebih menyita perhatian. Rencana itu terus tertunda. Hingga empat tahun kemudian, sepulang dari meliput bencana gempa dan tsunami yang menghancurkan Jepang pada awal 2011, usulan ekspedisi Cincin Api kembali dibuka.


Dewan Redaksi Kompas memberi ruang. Dua rekan sesama wartawan muda, Amir Sodikin dan Indira Permanasari, dan beberapa wartawan di daerah menemani perjalanan. Para wartawan senior seperti Maria Hartiningsih, Agnes Aristiarini, Ninok Leksono, Brigita Isworo, dan beberapa yang lain, mengawal substansi peliputan. Lalu, Kompas.Com dan KompasTV turut bergabung, melengkapi perspektif peliputan multimedia.