Beranda » Seabad Lagi, 1 Syawal Tak Perlu Diributkan

Seabad Lagi, 1 Syawal Tak Perlu Diributkan

Bukan hanya tahun ini. Sebelumnya, umat Islam di Indonesia sudah beberapa kali mengalami berlebaran ’secara berbeda’ . Dan belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, umat Islam di negeri ini tampaknya sudah cukup dewasa dalam menyikapinya. Artinya, sikap toleransi antarumat memang nyata ada dan tumbuh dalam hidup keberagamaan mereka. Alhamdulillah.

Meski saya yakin, setiap muslim di negeri ini, tentu berharap bahwa sebagai umat dan bangsa yang satu, berlebaran kalau mungkin bisa selalu bersama-sama. Dengan begitu, hari raya ini akan lebih meriah bisa dinikmati. Namun sejauh ini, membaca dan menyaksikan ‘indahnya silaturahim antar pemikiran’ di kalangan ulama dari beragam ormas yang ada, harapan itu sepertinya masih membutuhkan waktu untuk bisa terealisir. Dengan adanya perbedaan cara penentuan atau kriteria penetapan 1 Syawal di antara mereka, di tahun-tahun mendatang, muslim di negeri ini sepertinya tetap akan menjumpai pengalaman serupa. Berlebaran ’secara berbeda’ karena berbeda pandangan tentang jatuhnya hari pertama bulan Syawal pasca Ramadhan. Tapi ketika itu, saya percaya, umat Islam di negeri ini tentu sudah akan jauh lebih dewasa lagi menyikapi perbedaan. Kalau memang berbeda, apalagi masing-masing juga memiliki dasar argumentasinya, kiranya tidak juga bijak jika harus ‘diseragamkan’. Perbedaan pada konteks ini justru dapat hadir sebagai sebuah rahmat. Maka kita syukuri saja dengan lapang dada.

Namun, apakah memang dimungkinkan ‘perbedaan’ tentang penentuan 1 Syawal itu akan ‘mencair’ di masa yang akan datang? Wallahu a’lam, saya kok berpikir itu mungkin. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, proses ‘penyatuan’ atau ‘mencairnya’ perbedaan itu akan berlangsung secara indah dan alamiah. Yang menyelesaikannya bukan elit agamawan atau otoritas pemerintah yang berwenang, melainkan umat Islam sendiri dalam ‘menghayati kesalehan’ keberagamaannya.

Bercermin dari sejarah, hampir seabad lampau, ketika KH. Ahmad Dahlan berijtihad ‘meluruskan arah kiblat’ sholat menjadi ‘tidak lurus ke arah Barat’, banyak pihak saat itu yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari upaya ‘menegakkan’ urusan agama. Namun kini, setelah hampir seabad berlalu, ijtihad itu tak perlu lagi diributkan. Semua bisa menerima tanpa harus mempersoalkan siapa yang dulu ‘membuatnya seolah jadi kontroversi yang membahayakan umat’. Maka, tidak mustahil, bahwa seabad yang akan datang, elit agamawan dan pemerintah juga tidak perlu lagi sibuk atau ’seolah dibuat repot’ untuk membuat keputusan tentang kapan sebenarnya 1 Syawal.

Umat Islam ketika itu tak harus menunggu detik-detik akhir bulan Ramadhan untuk tahu kapan 1 Syawal akan datang. Jauh-jauh hari mereka sudah bisa mendapatkan pengumuman dan membuat rencana agenda lebaran. Karena saat itu, bangsa ini sudah bisa memanfaatkan alat penerawangan hilal, entah dengan teropong yang jauh lebih super canggih lagi atau dengan bantuan satelit ‘alien’ yang bisa mengapung di atas awan di langit nusantara. Sehingga ‘awan dan mendung’ atau ’silau matahari’ tidak lagi menjadi penghalang bagi penglihatan-mata-telanjang untuk memutuskan apakah status penglihatan-akal dalam membuat perhitungan matematis tentang peredaran matahari dan rembulan di garis edarnya selama ini sudah tepat atau justru meleset/sesat dari kebenaran. Dengan memakai perhitungan dari hasil penerawangan secara intens kemunculan hilal di sebelas bulan lainnya sebelum Ramadhan, para ahli yang serius di bidang ini, dibantu teknologi yang mungkin jauh lebih canggih lagi, bisa ‘melihat dengan tanpa keraguan’ bahwa hilal bulan Syawal memang sudah ada di atas ufuk berapapun derajat kemunculannya tanpa, sekali lagi, menunggu detik-detik akhir bulan Ramadhan.

Akhirnya, mari tetap kita sikapi perbedaan ini sebagai keindahan mozaik Islam, atau bahkan mozaik sebuah keluarga. Khusus kepada ibu dan adik iparku, saya ‘ijin’ berlebaran lebih dulu. Jangan khawatir, seabad lagi, perbedaan kecil seperti ini mungkin tidak akan lagi kita jumpai di keluarga ini. Wallahu a’lamu bish-shawab. Taqabbalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat berlebaran.

Nyoen Etis