“SAYA khadam dari keturunan yang kedelapan,” kata lelaki itu. Dia mengenakan sarung, kemeja muslim dan kopiah hitam. Ucapannya bernada bangga sekaligus hormat. Sebab hanya orang dan keturunan tertentu yang mendapat hak waris sebagai khadam.
Dalam bahasa Arab dan Melayu, khadam sebutan untuk orang yang menjadi juru kunci. Tugasnya menjaga dan memelihara makam.
Makam yang dia jaga adalah makam orang yang dikenal saleh, berilmu, dan mulia. Makam itu tempat peristirahatan terakhir ulama besar Aceh dan pemimpin tarekat Sattariyah, Syeh Abdurrauf bin Ali Al Fansuri Assingkili. Masyarakat lebih mengenal sang ulama dengan nama Syiah Kuala. Dia menjabat sebagai Kadhi Malikul Adil di Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Nakiatuddin Syah (1675-1678), Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan Kamalat Syah (1688-1699).
Machmud adalah pensiunan pegawai negeri di Dinas Sumberdaya Air, Banda Aceh. Hampir tiap hari dia datang ke pemakaman, mulai jam delapan pagi sampai enam sore. Jabatannya adalah koordinator ahli waris juru kunci pemakaman. Tiap Senin dan Kamis, dia menerima puluhan bahkan ratusan peziarah. Dalam sepekan dia hanya libur pada hari Jumat.
Machmud menggantikan khadam Syiah Kuala sebelumnya, Abdurrahman Ibrahim, lewat musyawarah para ahli waris. Abdurrahman tak lain adalah abang kandung Machmud.
Ketika tsunami menggulung Aceh, gelombang itu menghancurkan benda-benda dan memusnahkan mereka yang hidup. Abdurrahman bersama istri dan empat anaknya tak terkecuali. Keluarga itu tinggal di gampong Deah Raya, kecamatan Syiah Kuala. Rumah mereka tak jauh dari kompleks pemakaman.
Tak satu pun rumah penduduk tersisa di gampong itu. Yang selamat hanya makam Syiah Kuala yang terletak dua puluh meter dari tanggul.
Kondisi makam rusak berat. Pagar besi pelindung bengkak-bengkok. Tanah amblas. Namun posisi batu-batu yang melindungi makam nyaris tak berubah. Satu nisan masih berdiri tegak, satu lagi patah. Nisan-nisan lain rebah dan berserak di sekeliling makam sang ulama. Terpisah dari kuburan masing-masing.
Saat melewati makam itu, wangi melati tercium dari di tepi utara. Tapi saya tak melihat bekas taburan melati di sekeliling makam. Pohon melati pun tak ada. Beberapa pokok bakau terletak sekitar 50 meter dari pemakaman. Tanah gersang. Tambak-tambak rusak. Panas matahari membakar kulit. Dan laut luas begitu dekat dari sini.
Pagi itu saya ditemani Muhammad Isa, pengemudi becak-mesin yang mengantar saya ke pemakaman, dan tiga orang peziarah. Juru kunci makam belum datang.
Saya tak percaya dengan penciuman sendiri, lalu bertanya kepada Isa.
“Bang, abang mencium wangi melati?”
“Iya, wangi.” Isa mengendus-endus, mencari sumber bau tersebut.
Tiga peziarah itu pun mengalami hal serupa. Mereka mencium aroma melati saat mendekati makam. Mungkinkah ada orang yang sengaja menyiram parfum ke makam?
Minggu berikutnya saya kembali lagi ke situ dan mencium wangi yang sama.
“Tidak… tidak pernah ada yang menyiram minyak wangi ke makam,” kata Machmud, juru kunci makam.
Tapi, ah, saya tak ambil pusing. Saya kembali berkeliling makam, mengamati situs bersejarah yang rusak itu.
PADA 29 Januari 2006 lalu, penjabat Gubernur Mustafa Abubakar menyatakan, pemerintah daerah telah menyediakan dana sebesar Rp 1,5 miliar untuk memperbaiki kompleks pemakaman. Dia datang bersama para pejabat daerah.
Di lain hari, ketika Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mendatangi tempat itu, dia juga menjanjikan hal yang sama: membantu merekonstruksi makam.
“Tapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” ujar Machmud.
Ruang kerja Machmud berdinding tripleks dan beratap seng, bersebelahan dengan makam. Di ruang itu pula dia menerima dan mencatat nama peziarah yang datang.
“Selama ini pemeliharaan dan perawatan kami lakukan sendiri. Pembangunan pagar juga dari dana kita sendiri.”
Entah bermaksud menyinggung pemerintah atau tidak, sebuah papan besar memuat tulisan yang meminta perhatian pemerintah. Bunyinya, “Sejauh mana perhatian pemerintah terhadap makam yang sangat bersejarah ini.… Marilah kita sama-sama menjaga, memelihara serta merawatnya agar tetap utuh sepanjang masa. Jangan sampai jatuh ke laut.”
Tiba-tiba seorang ibu bersama anaknya memberi salam dan masuk. Mereka membawa karung putih berisi seekor ayam berbulu putih. Dalam bahasa Aceh, Machmud menanyakan maksud kedatangan si ibu. Ibu itu memperkenalkan diri sebagai Nurhayati binti Usman. Anak laki-lakinya yang berusia sekitar empat tahun itu bernama Adlan Kamal.
“Saya memenuhi nazar untuk anak saya yang baru sembuh dari sakit.” Machmud menerjemahkan kepada saya. Tak berapa lama, Machmud menjelaskan apa arti nazar dan bagaimana seharusnya nazar dilakukan. Dia juga menerangkan bahwa tiap peziarah yang datang, termasuk sang ibu, dilarang meminta apapun kepada almarhum Syiah Kuala.
“Karena itu namanya syirik. Mintalah hanya kepada Allah yang Mahakaya,” ujar Machmud.
Nurhayati menyerahkan ayam kepada Machmud sebelum pamit pulang. Machmud sempat memotret ibu dan anak itu dengan kamera digital sebagai dokumentasi.
Menurut Islam, nazar berarti mewajibkan diri-sendiri melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tujuannya mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa hukum melaksanakan nazar atau melaksanakan sesuatu sesuai dengan yang telah dinazarkan adalah wajib.
“Mengapa banyak orang memenuhi nazarnya di makam Syiah Kuala, tidak di tempat lain?” tanya saya pada Machmud.
“Memang banyak tempat lain. Tapi menurut pengakuan mereka, lebih yakin melakukannya di sini daripada di tempat lain. Dan sesuatu yang diikuti dengan keyakinan akan lebih afdhal (utama) dikerjakan.”
“Dengan apa saja warga biasanya bernazar?”
“Apa saja. Ibu tadi dengan seekor ayam. Yang kaya ada yang bernazar dengan kambing. Mereka yang tidak mampu bisa dengan mengerjakan salat sunat. Pokoknya disesuaikan dengan kemampuan dia.”
Orang-orang yang bernazar datang dari berbagai kalangan. Kepala Kepolisian Resor Aceh Tamiang, Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Djaka Santoso, belum lama ini memenuhi nazarnya.
“Dia bernazar agar segera dipromosikan jadi kapolres, dan terkabul. Setelah dilantik sekitar seminggu lalu dia memenuhi nazarnya dengan memotong seekor kambing,” kisah Machmud.
Dia memperlihatkan foto kambing milik Kapolres Aceh Tamiang itu sebelum disembelih. Bulunya hitam pekat. Badannya gemuk. Setelah dikuliti, biasanya daging dan tulang kambing dimasak di tempat yang tak jauh dari makam Syiah Kuala. Warga setempat dan peziarah akan menyantap masakan itu bersama-sama.
Dalam buku tamu Machmud, hingga pertengahan 2006 ini sudah tercatat 105 ekor kambing yang disembelih untuk memenuhi nazar.
Banyaknya warga yang berziarah membuat makam tak pernah sepi. Beberapa pekan setelah tsunami, dalam sehari jumlah pengunjung mencapai seribu orang. Selain berziarah, pengunjung kerap memberi sumbangan.
“Pak Muhammad Anshari dari Bekasi Utara menyumbang Rp 10 juta untuk menata kembali batu-batu nisan.” Machmud menunjukkan catatannya.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berniat mengunjungi makam Syiah Kuala, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso memerintahkan anak buahnya membangun bale, semacam tempat istirahat sementara. Namun ketika bangunan panggung bercat hijau itu rampung, SBY tak kunjung menepati niatnya.
Tapi berkah dari makam Syiah Kuala terus berlanjut. Bahkan tukang becak-motor, seperti Bang Isa, tak luput dari rezeki. Soalnya, jarak dari jalan utama ke pemakaman lumayan jauh, antara tiga hingga lima kilometer. Peziarah butuh sarana untuk mencapai makam. Ditambah lagi, jalan berlubang dan belum diaspal. Debu beterbangan.
“Rata-rata sehari saya bisa dapat Rp 40 ribu,” kata Isa yang tinggal di barak daerah Lambaro Skep, tak jauh dari pemakaman.
Jumlah itu jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup istri dan delapan anaknya. Tapi, dia mengaku masih beruntung memperoleh pemasukan.
Bagaimana dengan Machmud? Siapa yang menggaji dia untuk menjaga makam?
“Ya dari dana amal.”
“Dari pemerintah?”
“Tidak… tidak ada.” Machmud menggelengkan kepala.
***
DARI makam Syiah Kuala yang terletak di utara kota Banda Aceh, saya pergi ke barat. Saya menuju peninggalan sejarah yang terletak di ruas jalan utama Banda Aceh-Meulaboh atau tepatnya, jalan menuju pantai Lhok Nga.
Saya menjumpai Ibrahim Yusuf dan Mariani. Mereka punya kewajiban tak kalah besar bagi bangsa Aceh. Secara bergantian mereka menjaga dan merawat satu-satunya rumah peninggalan Cut Nyak Dhien, pejuang Aceh. Kendati penjajah Belanda membuang Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat, hingga akhir hayatnya, orang Aceh tak pernah melupakan dia.
Di rumah itu pula Cut Nyak Dhien pernah hidup bersama suami tercinta Teungku Umar, yang kemudian gugur mendahuluinya. Teungku Umar memimpin rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda.
Rumah panggung bercat hitam, memanjang dan menghadap ke utara. Tinggi tiang-tiang penyangga mencapai dua meter. Atap terbuat dari daun nipah kering. Lantai dan dinding dari kayu ulin atau kayu besi. Pokok-pokok nangka jadi tiang penyangga. Usianya sekitar 200 tahun. Pada 1896, rumah ini dibakar Belanda dan pada 1981 direnovasi pemerintah Indonesia.
Ruang dalam cukup luas. Di serambi muka, pengunjung dapat melihat potret-potret bersejarah ketika pasukan marsose atau tentara Belanda menyerbu kampung dan gagal menangkap Teungku Umar. Potret pasukan Teungku Umar yang merusakkan rel kereta api milik Belanda juga dipajang di dinding. Potret terakhir di dinding kanan adalah potret Cut Nyak Dhien. Rahangnya kukuh. Garis wajahnya tegas.
Potret-potret itu merupakan reproduksi dari dokumentasi asli yang disimpan di Leiden, Belanda.
Antara serambi muka dan belakang terdapat dua kamar dayang-dayang. Kamar Cut Nyak Dhien berada di sebelah timur, diapit ruang tamu utama dan ruang rapat. Lapisan kain kelabu di ranjang Cut Nyak Dhien sebagian masih asli.
Ruang makan bersebelahan dengan kamar pembantu. Di sekeliling ruang makan terdapat lemari kaca yang menyimpan senjata-senjata tajam, seperti pedang, tombak, maupun rencong. Senjata-senjata ini ditemukan dalam tanah, tepat di bawah rumah, ketika renovasi berlangsung.
Ketika tsunami datang, rumah Cut Nyak Dhien jadi tempat berlindung sekitar 800 warga, orang dewasa dan anak-anak. Air tak sampai membenam lantai. “Sedikit lagi air masuk. Batas air cuma beberapa senti di bawah lantai,” kisah Ibrahim Yusuf pada saya.
Konstruksi bangunan cukup kokoh. Tak ada kayu yang patah atau retak.
“Hanya atap saja yang dirapikan dan ditambah yang baru, karena waktu tsunami ada yang naik sampai ke atas sana dan asap jadi bergeser,” katanya, lagi.
Namun, gedung pustaka yang berada di sebelah barat rumah ini rusak berat. Ratusan buku sejarah Cut Nyak Dhien, Teungku Umar, Panglima Polem, Teungku Chik Di Tiro, dan pejuang-pejuang kerajaan Aceh hanyut dibawa air. Kini bangunan tersebut kosong-melompong.
Ibrahim dan Mariani bekerja keras membersihkan sampah dan lumpur bekas tsunami di sekeliling rumah. Keduanya sama-sama keturunan penjaga rumah. Mereka tinggal bertetangga. Ibrahim bersama istri dan seorang anak, sedangkan Mariani sudah hampir lima tahun menjanda.
Sayang sekali, perjuangan Ibrahim dan Mariani menjadi penjaga, pengelola sekaligus pemandu bagi pengunjung yang datang tak sebanding dengan honor maupun perhatian pemerintah untuk mereka.
Ketika diangkat jadi penjaga rumah pada 1991, mereka diupah Rp 15 ribu. Kini, setelah 15 tahun merawat rumah pasangan pahlawan kebanggaan bangsa Aceh, upah mereka hanya naik sepuluh kali lipat. Ya, tiap bulan mereka hanya mendapatkan Rp 150 ribu. Itu pun tersendat-sendat.
“Sudah empat bulan honor kami belum dibayar. Saya sudah bolak-balik menanyakan, tapi jawabannya selalu masih menunggu dana dari pusat,” ungkap Ibrahim.
“Sebenarnya sangat tidak cukup, walau untuk kebutuhan sendiri. Apalagi setelah tsunami barang-barang di sini sudah mahal. Tapi, mau tidak mau harus dicukupkan,” Mariani menimpali.
Mereka berdua tak jarang harus menanggung beban biaya listrik. Menurut Ibrahim, tiap bulan rekening listrik untuk penerangan rumah dan taman nyaris menyamai upah gabungan dia dan Mariani, “Antara Rp 200 ribu sampai 250 ribu.”
“Dananya kami kumpulkan dari sumbangan tamu-tamu yang datang. Itu pun kami tidak meminta,” ujar Ibrahim.
---
AMIN Yusuf punya nasib nyaris serupa. Lelaki berusia sekitar 50 tahun itu bekerja menjadi penjaga Benteng Indra Patra di Lamdong, Krueng Raya. Lokasinya sekitar 33 kilometer dari Banda Aceh ke arah timur.
Benteng Indra Patra dibangun oleh keturunan Raja Harsya dari India Selatan pada 604 Masehi. Semula bangunan ini merupakan tempat tinggal keluarga raja dan digunakan untuk kegiatan ritual. Namun, ketika pasukan Iskandar Muda merebutnya dari Portugis, peninggalan kerajaan Hindu tersebut berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan senjata, seperti meriam dan bedil.
Seperti juga makam Syiah Kuala, dua benteng dari semen dan batu sungai ini terletak di bibir pantai Selat Malaka. Tinggi masing-masing benteng enam meter. Tapi tsunami merontokkan pagar tembok yang mengelilinginya.
Saya terpaksa ekstra hati-hati ketika menuju kawasan benteng. Banyak ‘ranjau darat’ di sana-sini. Baunya cukup menusuk. Ternyata yang berkunjung bukan hanya manusia, gerombolan kerbau dan sapi juga tak mau ketinggalan.
“Sejak tak ada pagar, binatang-binatang itu keluar-masuk sesukanya,” tutur Amin kepada saya. Sejak dihantam tsunami, menurut Amin, tidak ada upaya pembangunan pagar.
Sebagai penjaga benteng yang konon dibangun pada abad ke-7 itu, Amin hanya diupah Rp 150 ribu per bulan. Seperti Ibrahim dan Mariani, tak setiap bulan dia menerima honor. Padahal rasa lapar dan kebutuhan keluarga tak bisa ditahan-tahan.
“Semula anak saya, Emisa yang menjaga, tetapi sejak tiga tahun lalu dia kerja sebagai kenek truk di Medan. Satu kali trip dia bisa dapat Rp 150 ribu.”
Di masa konflik, tempat ini sepi pengunjung. Lamdong kerap jadi daerah operasi tentara Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua warga bahkan ditembak mati gara-gara dituduh mata-mata tentara Indonesia. Amin sempat ditahan sehari di markas Komando Distrik Militer. Dia juga pernah dihajar anggota Brigadir Mobil.
“Tapi lebih baik dipukul tentara daripada harus berhadapan dengan GAM,” kata Amin, mengutip komentar penduduk setempat.
Setelah kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan GAM, benteng tersebut kembali ramai dikunjungi orang. Amin kemudian membuka warung makanan dan minuman. Hasilnya bisa lebih banyak dari honornya sebagai penjaga benteng.
Tapi kepada pengunjung Amin berpesan, “Kalau mau datang dan duduk di semak-semak harus bawa surat nikah. Berkunjung boleh, tapi jangan bikin perbuatan yang tidak-tidak. Karena orang kampung yang bisa terkena bala!”
BANGUNAN bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara berada di bawah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jalan Teuku Umar, di pusat kota Banda Aceh. Di kompleks kantor itu juga terdapat peninggalan bersejarah.
Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah namanya. Taman ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) berkuasa. Bangunan berbentuk replika gunung di tengah taman konon terbuat dari putih telur. Sultan mempersembahkan seisi taman tersebut untuk permaisurinya yang berasal dari Pahang.
Di situ saya menemui Muhammad Yahya yang juga salah seorang juru kunci dan pemandu situs Taman Sari Gunongan atau Taman Gairah. Tapi lagi-lagi, nasib Yahya tak berbeda jauh dengan juru kunci di bangunan bersejarah lainnya. Honor ekstra minim.
“Kalau saya masih muda, mana mau saya kerja di sini,” ujar Yahya pada saya. Usianya sudah lebih dari 60 tahun. Rambut keperakan. Dia pensiunan tentara. Pangkat terakhirnya sersan kepala. “Tapi karena tak ada pekerjaan lain, ya terpaksa dijalani.”
Insa Anshari, kepala BP3, tak bisa berbuat banyak.
“Dana kita memang minim.” Insa berterus terang.
Menurut dia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tiap tahun hanya memberi anggaran Rp 130 juta kepada kantornya. Pengeluaran terbesar digunakan untuk membayar honor para juru kunci situs yang berada di Aceh dan Sumatera Utara. Total jumlah mereka 168 orang. Sedangkan jumlah anak buah Insa sebanyak 29 orang.
Jika dihitung, dalam setahun total pengeluaran untuk honor para juru kunci mencapai Rp 300 juta! Itu belum termasuk dana rekonstruksi dan rehabilitasi situs-situs bersejarah yang rusak akibat gempa dan tsunami.
Lantas apa upaya Insa menutupi sisa kebutuhan anggaran?
“Kita sudah minta ke pusat, tapi sepertinya wakil rakyat di Jakarta kurang memahami apa arti sejarah. Untuk rekonstruksi kita sudah minta bantuan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias), tapi belum ada respon. Kita menyadari, mungkin sementara ini prioritas rekonstruksi dan rehabilitasi lebih kepada penduduk yang jadi korban tsunami. Saya dan beberapa pegawai di sini juga menjadi korban tsunami, tapi belum dapat bantuan perbaikan rumah.”
***
RUPANYA nasib juru kunci dengan situs sejarah yang mereka rawat setali tiga uang: kerap dilupakan. Saya teringat ucapan salah seorang tokoh dalam karya Karl May yang berjudul Dan Damai di Bumi. May pernah mengunjungi Pelabuhan Ulee Lheue dan Kutaraja di akhir abad ke-19. “Mereka yang tidak menghargai masa lalu, juga tidak berharga untuk masa depan,” kata penulis serial Old Shatterhand ini.
Tapi Machmud, penjaga makan Syiah Kuala, tidak akan melupakan sejarah yang pernah membuat Aceh berjaya. Dia tak gentar jika bencana kembali berulang, apalagi sekedar minimnya dana. Dia berupaya menjaga, memelihara serta merawat warisan yang dipercayakan padanya.
“Kita berupaya sejauh kita bisa,” tegas Machmud.