Beranda » Syihabuddin Ahmad bin Abi Rabi’ (W.272 H/ 885 M) Pemikir Politik Islam Pertama

Syihabuddin Ahmad bin Abi Rabi’ (W.272 H/ 885 M) Pemikir Politik Islam Pertama

Para pemikir Barat memandang bahwa para pemikir politik muslim merupakan pioner etika dan pemikiran filsafat, tetapi tidak mempunyai kontribusi penting dalam bidang pemikiran politik, dan bahwa agama dan peradaban Islam tidak memiliki pemikiran politik apa pun. Pendapat ini adalah kesalahan besar dan tidak benar sama sekali. Sebab , orang-orang Eropa pada abad ke- 16 dan abad ke- 17 tidak mengetahui secara sempurna karateristik atau tipikalitas pemikiran politik orang-orang Islam.



Berikut ini adalah model pemikiran politik yang di bangun oleh ibnu abi rabi’ yang berjudul Suluk Al Malik fi Tadbir al mamalik ( Perilaku Raja dalam pengelolaan kerajaan) buku tersebut di cetak pada tahun 1256 di kairo. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Ahmad bin Abi Rabi’, beliau hidup pada masa Dinasti Abbasiyyah(Baghdad, Irak). Saat itu di pimpin oleh Khalifah Mu’tashim putra Harun ar- Rasyid. Baghdad pada waktu itu menjadi pusat kebudayaan bukan saja bagi dunia Islam, tetapi juga bagi seluruh dunia. Di sana berkumpul para ulama, para pemikir, para filosof, dan para sejarawan. Diantaranya mereka adalah ahli hadits Al- Bukhari, sejarawan Al-Wakidi, ahli Fiqh Ahmad ibn hanbal (salah satu imam besar yang empat dalam dunia Islam), Ali ridha dari Syi’ah imamiyah, Abu Tamam (sang penyair terkenal), dan para pemikir serta filosof yang non- muslim seperti Hunain bin ishaq dan Georgois.


Teori pembentukan Negara atau Kota :


Ibnu Abi Rabi’ berpandangan bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan alaminya. Ia tidak mungkin memenuhinya sendirian. Oleh karena itum , sebagian manusia membutuhkan sebagian lainnya. Saling ketergantungan ini menyebabkan sebagian besar mereka berkumpul di satu tempat untuk melakukan transaksi. Mereka lalu mendirikan kota sebagai tempat untuk melakukan barter.


Kebutuhan-kebutuhan yang mendorong manusia untuk berkumpul dan membentuk Negara adalah sebagai berikut :


1. Kebutuhan pangan, untuk mengganti energi yang digunakan manusia ketika bergerak dan olahraga.


2. Kebutuhan sandang, untuk melindungi manusia dari hawa panas, hawa dingin, dan angin.



3. Kebutuhan tempat tinggal, untuk menjaga manusia dari marabahaya.


4. Kebutuhan reproduksi, untuk menjamin kelangsungan eksistensi manusia.


5. Kebutuhan pelayanan kesehatan karena berubah-ubahnya konidisi fisik manusia.


Jelaslah , manusia tidak akan mampu mencukupi semua kebutuhannya sendirian. Kebutuhan – kebutuhan ini sendiri mengharuskan adanya keahlian, ilmu, dan orang-orang dengan keterampilan yang berbeda-beda. Sebenarnya, Plato pernah mengemukakan pemikiran seperti ini sebelumnya, yakni ketika ia berbicara tentang pembentukan Negara atau kota. Beliau menegaskan bahwa manusia tidak dapat berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Ia membutuhkan orang lain. Inilah dua faktor yang menyebabkan berdirinya Negara atau kota. Masyarakat yang sehat memang seharusnya di bentuk untuk memenuhi kebutuhan alami kita.


Namun , Ibnu Abi Rabi’ berbeda dengan Plato tentang watak manusia. Ia menjelaskan ,



’’ Allah telah menciptakan manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan bermasyarakat. Ia tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain, ketika manusia berkelompok di kota-kota dan berinteraksi dengan latar belakang masing-masing yang beragam, Allah meletakkan pemimpin-pemimpin yang mengatur hak dan kewajiban tiap anggota masyarakat sebagai rujukan dan yang harus di patuhi. Allah pun mengangkat untuk mereka penguasa yang melaksanakan peraturan-peraturan itu dan mempergunakannya guna menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan kebutuhannya, serta mengikis pelanggaran dan penganiayaan antaranggota masyarakat yang dapat merusak kebutuhannya.”


Memerhatikan paparan diatas , kita akan melihat bahwa Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa watak manusia cenderung untuk bermasyarakat , yakni manusia adalah makhluk adalah makhluk social dan berbudaya. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Aristoteles dalam bukunya, Politics, tetapi yang baru dari Ibnu Abi Rabi’ adalah ketika menyebutkan bahwa kecenderungan yang alami ini diciptakan Allah untuk manusia , yakni Allah memberikan tabiat ini. Inilah yang tidak kami temukan pada pemikiran Aristoteles atau pemikir Yunani lainnya. Orientasi agama ini semakin tampak ketika ibnu abi rabi’ berpendapat bahwa Allah telah menetapkan berbagai aturan untuk ditaati manusia. Aturan itu terdapat pada kitab suci-Nya yang menghimpun setiap hukum dan ketentuan ilahiyah. Selain itu, ia berpendapat bahwa Allah telah mengangkat pemimpin-pemimpin yang bertugas menjaga pemberlakuan aturan-aturan- Nya itu dan yang bertindak seiring dengannya. Dengan demikian , Ibnu Abi Rabi’ memasukkan sentuhan-sentuhan ketuhanan ke dalam pemikirannya tentang Politik.


Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa manusia bukanlah malaikat yang kebal godaan dan tidak pernah berbuat kejahatan (Kecuali Para Rasul Allah Swt). Bahkan manusia sering melakukan kejahatan. Ia lalu membagi kejahatan ke dalam tiga macam :


1. Kejahatan yang berasal dari dalam diri manusia.


2. Kejahatan yang berasal dari warga masyarakat.



3. Kejahatan yang berasal dari warga masyarakat luar.


Adapun cara mengatasi tiga macam kejahatan itu, menuru Ibnu Abi Rabi’, berbeda satu sama lain. Kejahatan pertama dapat dihalangi dengan mengikuti perilaku atau pola hidup yang terpuji, pengendalian diri, dan penggunaan akal dalam penyelesaian segala persoalan. Kejahatan kedua dapat dicegah dengan memberlakukan hukum atau undang-undang dan peraturan yang telah diletakkan (oleh Allah) untuk kepentingan manusia dan kesejahteraan umum. Adapun kejahatan ketiga dapat dihalangi dengan membangun pagar-pagar tembok yang tinggi dan menggali parit-parit dalam , serta membangun angkatan bersenjata.


Bentuk pemerintahan :


Setelah menjelaskan asal mula Negara atau kota, Ibnu Abi Rabi’ menyinggung pengelola Negara, yakni yang memimpin, mengurus, dan mengelola Negara dan rakyat. Sebab, tidak mungkin sebuah Negara berdiri tanpa pemimpin atau pengelola yang melindungi rakyat dari gangguan dan bahaya yang muncul di antara mereka sendiri. Ia pun berpendapat bahwa seyogianya penguasa atau pemimpin tersebut adalah orang yang paling utama. Sebab , seorang yang hendak melarang atau memerintah orang lain dari berbuat sesuatu haruslah orang yang dapat memberikan contoh sebelum orang lain. Ibnu Abi Rabi’ dalam bentuk pemerintahannya menekankan pada Monarki atau kerajaan yang menurut beliau hal tersebut ideal di zamannya.


Pilar-pilar Negara


1. Raja ,Presiden / Pemimpin.



2. Rakyat


3. Adil


4. Organisasi


Demikian lah pemaparan sekilas daripada model pemikiran politiknya Syihabuddin Ahmad bin Ibnu Abi Rabi’ atau yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Abi Rabi’ dalam menerangkan mengenai asal mula Negara sampai pada tahap pilar-pilar dalam bernegara kiranya dapat membantu dalam penelaahan sejarah politik Islam agar menjadi contoh dan mengambil daripadanya hikmah yang banyak.


Asep Haris Mufadillah