Adalah Walikota Bogor Diani Budiarto yang menolak berdirinya GKI Yasmin. Menurut Walikota Bogor, seperti diutarakan Mendagri Gamawan Fauzi, Diani Budiarto tak mematuhi keputusan MA yang merekomendasikan mencabut surat keputusan pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) GKI Yasmin.
Gamawan mengungkapkan, Diani punya alasan sehingga menolak keputusan MA. Salah satu pertimbangannya adalah karena nama jalan tempat pendirian gereja itu adalah nama Islam. Karena itu, Diani mengusulkan agar lokasi pembangunannya dipindahkan.
Kasus ini berawal dari dibekukannya IMB pendirian GKI Yasmin pada tahun 2008, yang terletak di Jalan KH R Abdullah Bin Nuh di Kelurahan Curug Mekar, di dekat Perumahan Yasmin, Bogor. Pembekuan ijin tersebut dikeluarkan setelah muncul sikap keberatan dan protes warga sekitar. Warga setempat mengaku tidak pernah menandatangani pernyataan tidak keberatan atas pembangunan gereja tersebut, sebagai salah satu syarat penerbitan IMB. Mungkin, atas dasar keberatan ‘warga sekitar’, maka Diani menolak kehadiran gereja di daerah tersebut.
Hal yang menarik adalah alasan Walikota Diani tentang keberadaan GKI Yasmin melalui ‘jurubicara’-nya Pak Mendagri.
Salahkah gereja didirikan di atas jalan tokoh atau pahlawan Muslim? Bagaimana dengan nasib ribuan gereja di seluruh Indonesia yang berdiri di jalan tokoh atau pahlawan yang beragama Islam lainnya?
Menurut saya, penolakan Walikota Diani terhadap keberadaan gedung GKI di Jalan KH Abdullah bin Nuh Bogor, adalah sebuah pernyataan intoleransi yang membahayakan kerukunan umat-beragama. Pernyataan tersebut tidak saja menyakiti perasaan umat Kristen warga jemaat di GKI Yasmin yang akan terusir dari daerah tersebut.
Siapa KH R Abdullah bin Nuh?
Saya tidak pernah berpikir, bahwa seorang Abdullah bin Nuh adalah tokoh Islam yang bersikap kejam terhadap umat non-Muslim. Untuk itu, saya mencoba mencari tahu, setidaknya lewat referensi di dunia maya.
Abdullah Bin Nuh lahir di Cianjur tanggal 30 Juni 1905 dan wafat di Bogor tanggal 26 Oktober 1987. Kiyai ini merupakan maha guru bagi ulama. Selain itu, ia juga merupakan seorang sastrawan, pendidikan dan pejuang kemerdekaan. Kalau melihat kepada silsilah keturunanya, Abdullah bin Nuh adalah putra dari KH R Muhammad Nuh bin Muhammad Idris. Abullah kecil belajar agama dan bahasa Arab setiap hari. Sehingga dalam relatif muda, ia sudah mampu berbicara bahasa Arab.
Ia juga mampu berbahasa Belanda dan Inggris, sehingga mengajar di Hadralmaut School sekaligus menjadi redaktur majalah Hadralmaut berbahasa arab, yang terbit di Surabaya sejak tahun 1922 hingga tahun 1926. Sang Ayah mengirim Abdullah untuk menimba ilmu di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, selama dua tahun.
Sekitar tahun 1943 hingga 1945 di masa penjajagan Jepang, Abdullah terjun ke medan juang dan menjadi seorang Daidancho wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Ia temasuk angkata pertama pemuda PETA yang dikirim ke Bogor, untuk mengikuti latihan ketentaraan PETA (Pembela Tanah Air).
Di tahun 1948 hingga 1950, kiyai ini menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk wilayah Yogjakarta Jawa Tengah. Ia juga pernah menjadi kepala seksi siaran Bahasa Arab di RRI Jogjakarta dan kepala siaran bahasa Arab RRI Jakarta. Pada tahun 1967, dosen luar biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII) ini, dipercaya menjabat lektor kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Selanjutnya pada 1969 dia mendirikan Yayasan Islamic Center Al-Ghazali dan Pesantren Al-Ihya di Bogor. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut hingga sekarang masih eksis dan mendapatkan tempat di tengah masyarakat Kota Bogor. Sejak mengembangkan Pesantren Al-Ghazaly dan Al-Ihya, ia menetap di Bogor hingga menghembuskan nafas terakhir pada 26 Oktober 1987. Jenazahnya dikebumikan di dearah Sukaraja, Bogor.
Tahun lalu, seorang putra KH Abdullah bin Nuh, KH Mustofa bin Abdullah mengusulkan ke pemerintah agar ayahnya dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Sedangkan Ketua Paguyuban Pasundan Cianjur, Abah Ruskawan mengatakan, KH Abdullah Bin Nuh sudah layak disebut sebagai pahlawan nasional, setelah 24 Agustus mendatang dilaksanakan seminar nasional di Gedung DPRD Cianjur, dalam rangka mengusung KH Abdullah bin Nuh sebagai tokoh nasional.
Salah satu hal yang meyakinkan saya bahwa KH Abdullah bin Nuh adalah tokoh Islam moderat adalah kegiatannya dalam ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Sepanjang sejarahnya, kelompok Nahdliyin ini sangat berperan aktif dalam menjaga toleransi umat beragama di Indonesia.
Pada tulisan saya menyambut peringatan Harlah NU di Gelora Bung Karno (17/7/2011), Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj menyebut komitmen NU dalam menjaga empat pilar demokrasi, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Ada atau tidak ada terorisme, ada radikalisme atau tidak, bom meledak atau tidak, bagi NU: NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945, adalah final.
Sebagai penutup, silakan rekan-rekan Kompasianer nikmati tulisan syait karya KH Abdullah bin Nuh, berjudul ‘Persaudaraan Islam’. Isi tulisan Abdullah bin Nuh sangat jauh dari kebencian dan intoleransi. Di tulisan syair tersebut, saya menemukan kedamaian dalam hubungan antar-manusia.
Jackson Kumaat