Saiful Rahman
Penyebaran Kelompok Austronesia di Jawa Timur, menurut hasil akhir penelitian Badan Arkeologi, selain ditemukannya peninggalan artefak dan sisa hunian di Kendeng Lembu-Glenmore-Banyuwangi, juga kelompok austronesia ini menyebarkan koloninya melewati sepanjang sungai Kali Baru dan telah bermigrasi di sepanjang pantai selatan jawa, termasuk di dipesisir pantai Puger-Jember.
Menurut beberapa para ahli arkeologi bahwa peradaban Neolitikum merupakan momen peralihan yang sangat menentukan dari masa prasejarah ke masa sejarah. Bisa dibilang kelompok bangsa Austronesia di Puger merupakan babak peralihan penting ke masa sejarah manusia di Jember. Jadi kelompok austronesia di Kecamatan Puger merupakan penentu periodeisasi peradaban awal manusia prasejarah (manusia tradisional) di Jember ke masa sejarah Jember (manusia modern) yang kemudian berkembang secara dinamis sampai sekarang.
Bila manusia prasejarah di Jember adalah kelompok Austronesia, lalu siapa manusia sejarah (manusia modern) pertama di Jember? Robert Wessing dalam penelitiannya yang berjudul, Nyai Roro Kidul in Puger ( Local Applications of a Myth), mengutip catatan De stoppelaar bahwa etnis puger tahun 1927 terdiri: “…etnically this population is up f madurese, javanise and bugis people with an additional sprinksling of using from the banyuwangi area and in the past peopole of mandarese and malay extraction….” Kata mandarise menunjuk pada keberadaan awal etnis mandar di Puger. Dan menurut beberapa orang sepuh yang meyakininya, bahwa penduduk pertama kali hidup dipuger adalah etnis Mandar. Baru kemudian disusul oleh etnis Jawa, dan Madura. Selain dipuger, kelompok masyarakat pendatang dij kabupaten Jember umumnya berasal etnis Jawa dan Madura dengan alasan pelarian dari kerajaan Mataram atau faktor didatangkan menjadi pekerja perkebunan oleh VOC Belanda.
Sebelum terjadi proses hinduisme singkretis yang disebarkan oleh kerajaan jawa kemudian dilanjut dengn migrasi orang-orang Madura, dan ditambah penguatan santrinisasi sampai sekarang, suku Mandar sudah datang di Puger dan berkoloni. Bukti ini dikuatkan adanya nama dusun mandaran di Desa Puger Wetan. Dan kepercayaan masyarakatnya bahwa mereka berasal dari Sulawesi.
Entah motifnya apa suku mandar awal bermigrasi di Puger, apakah karena kekalahannya dari bangsa Bugis, atau sebab tradisi budaya mereka sebagai bangsa pelaut, yangmana tanah perantauan adalah sebagai kampung halamannya (Beda dengan etnis jawa dan madura, tanah perantauan bukan sebagai kampung halamannya). Yang jelas Etnis Mandar telah ada disana dan lambat laun bersingkretis menjadi masyarakat Puger sekarang dengan ciri beragama Islam, tak ada kesenian yang khas (Jaranan, Reog, Janger, dan lain-lain seni khas tanah jawa), logat bahasa sehari-hari Jawa bercampur osing, mengerti bahasa Madura dan pekerjaan sehari-hari sebagai nelayan.
Lalu kemana koloni bangsa Austronesia dipuger seiring dengan adanya koloni baru etnis Mandar? Bisa jadi terdesak terus keutara, atau terjadi singkretisasi kultur, atau koloni Austronesia dipuger itu sendiri sebelumnya merupakan bagian interaktif dengan suku mandar sebelumnya disulawesi. Mengingat prediksi para Ahli sejarah, bahwa Migrasi bangsa Austronesia di sepanjang pesisir selatan Bali sampai sepanjang pantai selatan Jawa Timur berasal dari Kelompok Austronesia Sulawesi Barat.
Namun realitas sejarah masyarakat Puger masa kini, terutama masyarakat yang bertinggal di dusun Mandaran akan mengelabuhi penglihatan pada kehadiran eksistensi etnis mandar pada masa lampau. Kerena dalam praktek bahasa sehari-hari mereka sudah tidak mencerminkan sebagai orang yang berasal dari Etnis Mandar Sulawesi. Pada umumnya rakyat puger sudah berbahasa jawa dan ada pula yang berbahasa madura. Tapi jejak masa lampau itu masih melekat dalam notasi dialek bahasa sehari-hari mereka yakni: Bahasa orang puger wetan jika ditarik kegaris bahasa osing Banyuwangi tidak sepenuhnya benar , pun jika ditarik ke bahasa jawa dialek mataraman, juga tidak sepenuhnya benar. Yang benar adalah telah terjadi penumpukan gramatikall bahasa osing dan jawa mataraman dengan logat etnis mandar, bahkan mungkin pula sedikit modifikasi dengan bahasa madura Sumenep. Tapi ini semua asumsi saya yang sangat diragukan kebenarannya sebelum dilakukan penelusuran secara serius dan mendalam.
Loh, bagaimana itu bisa terjadi penumpukan gramatikal menjadi modifikasi bahasa sehari-hari yang khas masyarakat Puger sekarang? Bacaan imajinatif saya selanjutnya, bahwa kelompok mandar dipuger masa lampau merupakan kelompok yang netral secara politik dan kebudayaan atas kekuasaan Majapahit, Mataram dan Blambangan. Secara periodik suku mandar puger dihimpit oleh dua Kerajaan hebat (dari kerajaan Majapahit sampai kerajaan Mataram yang selalu bermusuhan dengan kerajaan Blambangan Banyuwangi). Wilayah Puger merupakan garis batas antara dua kerajaan tersebut. Maka menjadi pilihan logis jika posisi politis suku mandar dipuger memilih sikap sinkretis dan cenderung mengadopsi kedua entitas politik kerajaan yang saling berlawanan tersebut. Jadi mereka tidak bersikap fanatis pada blok kekuasaan Jawa atau kekuasaan blambangan banyuwangi dan cenderung menjauhi resistensi sikap berbudaya.
Setting politik global yang mempengaruhi entitas etnis Mandar Puger menjadi realitas kebudayaan masyarakat puger sekarang, tidak lepas dari hubungan diplomatik ke dua kerajaan yang tidak harmonis, dan terjadinya peperangan antara Majapahit dengan blambangan yang dikenal dengan perang Nambi pada tahun 1316, kemudian ditambah perang Sadeng tahun 1331, dan tujuh puluh tahun berikutnya berkobar peperangan dahsyat selama enam tahun yang dipicu perebutan kekuasaan dikenal dengan Perang Paregreg. Disusul tahun-tahun selanjutnya peperangan yang melelahkan antara blambangan melawan penguasa Mataram dan dengan Kompeni Belanda.
Untuk menjelaskan sikap politik dan kebudayaan suku mandar dipuger menghadapi kekuatan global yang besar antara kerajaan Blambangan dan kerajaan Jawa, teori Foucault relatif bisa menjelaskannya sebagai berikut: Bahwa kekuasaan, bukan milik siapa pun; kekuasaan ada di mana-mana; oleh karenanya kekuasaan merupakan strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu. Ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subjek. Kekuasaan dengan pengetahuan bertautan sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan. Dan kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi.
Memaknai kekuasaan perspektif Faucoult dikorelasikan dengan posisi diri suku mandar di Puger masa lampau, bisa ditarik benang merah bahwa sebagai etnis rakyat yang minoritas yang sedang dihimpit oleh pertarungan kekuasaan besar, maka pengetahuan suku Mandar yang diproduksi oleh kekuasaan survivalnya menjadi sikap-sikap stretegis hidup untuk menghadapi kekuasaan diluar dirinya yang selalu mengancam. Diantaranya dengan meniru bahasa, meniru budaya, atau pun sikap berpihak pada blok kekuasan tertentu jika itu dipandang menguntungkan jangka panjang.
Analisa saya tersebut ini bukan tanpa bukti historis tetapi ada kenyataaan menguatkannya. Nama Pangeran Puger sebagai raja yang merepresentasikan kebudayaan Jawa oleh masyarakat Mandar dipakai sebagai nama wilayah setempat (sekarang pecah menjadi dua desa; Puger Wetan dan Puger Kulon). Seterusnya, masyarakat Puger (disini etnis mandar sudah satu kesatuan dengan masyarakat Puger) juga terkadang menunjukkan keberpihakan politik praktisnya pada Blambangan, (dimana Blambangan sebagai representasi kebudayaan osing yang sudah diadopsi oleh etnis Mandar Puger) dengan keterlibatannya rakyat Puger membantu pasukan blambangan di bawah kendali Sayu Wiwit menghadapi VOC Belanda pada tahun 1771. Kedua sikap ini dipilih tak lepas sebagai pilihan-pilihan strategisnya melawan kekuasaan yang selalu mengancamnya. Bahkan setelah memenangkan peperangan, suami Sayu Wiwit meninggal di Puger sebagai simbol kedekatan budaya Orang Puger yang bukan osing dengan kebudayaan osing.
Jadi keberadaan etnis mandar sebagai manusia masa sejarah awal (manusia modern) di kabupaten Jember, lalu dikaitkan dengan pencarian sejarah komunitas yang benar-benar asli jember, maka tak diragukan lagi menunjuk etnis mandar Puger-lah yang benar-benar penduduk asli Jember. Namun ini sebatas imajinasi saya, tetapi ini menarik dan menjadi versi (pengetahuan spesial) tersendiri tentang kesejarahan penduduk Kabupaten Jember. Karena umumnya hepotesa sejarah penduduk Jember terkungkung dengan historiografi migrasi etnis Jawa dan Madura. Faktor pelarian dari kerajaan Mataram atau karena didatangkan oleh VOC Belanda sebagai pekerja perkebunan di Jember dan ini terjadi sekitar tahun 1800-an merupakan wacana umum sejarah Jember.
Pembacaan imajinatif saya ini merupakan kreatifitas tersendiri menggali apa, siapa dan bagaimana keaslian itu, dibanding yang mengaku asli Jember tapi tidak tahu arti keaslian sebagai orang Jember itu seperti apa. Apakah asli jember itu adalah keturunan manusia neolitikum Jember? Apakah asli jember itu adalah etnis Mandar Puger? Atau asli jember itu adalah orang-orang pelarian dari mataram yang beretnis jawa? Atau pula para pendatang terakhir yang didatangkan belanda untuk menjadi buruh perkebunan yang mayoritas beretnis Madura?