Beberapa warga sekitar pantai yang ditemui, Kamis mengatakan, soal munculnya tulang manusia itu sudah biasa dilihat warga sejak abrasi terjadi.
"Kami sudah biasa meliha tulang manusia berserakan setelah ombak besar datang, jadi ya biasa-biasa saja rasanya," kata salah seorang warga.
Bahkan, saking biasanya melihat tulang manusia, beberapa anak kecil juga tidak takut melihat tengkorak justru malah menjadikannya sebagai mainan seperti sepak bola.
Untung Suwono, salah seorang warga mengatakan, pihak desa sebenarnya sudah pernah memasang buis untuk menghadang ombak namun dalam waktu singkat sudah hancur.
"Mau memasang lagi biaya yang dibutuhkan cukup besar, apalagi pemasukan dari pengunjung ke pantai ini tidak seberapa," katanya.
Dari Suwono diketahui, saat air laut pasang, puluhan tengkorak dan tulang manusia bisa ditemui di pantai yang dijadikan Kabupaten Jembrana sebagai salah satu objek wisata ini.
Abrasi yang melanda pantai ini memang cukup parah, bahkan sudah mulai menggerus jalanan aspal sekitar lima meter.
Kepala Desa Baluk, I Ketut Suasana mengatakan, pihaknya sudah tidak kuat lagi untuk menangani abrasi ini karena butuh biaya yang besar.
Ia mengaku, untuk pemasangan buis guna melindungi Padmasana atau tempat sembahyang di pantai tersebut, pihaknya sudah menghabiskan dana hingga Rp 30 juta.
Menurut Suasana, dari objek wisata Pantai Rening, desa mendapatkan pemasukan kotor sekitar Rp56 juta per tahun.
"Dengan pemasukan segitu jelas tidak cukup untuk menangani abrasi seluruhnya di pantai tersebut," katanya.
Terkait dengan temuan tulang belulang manusia di lokasi itu, Suasana mengatakan, masyarakat menyakini itu adalah tulang korban Gestapu. Karena tidak tahu tulang tersebut siapa, pihak desa tidak melakukan mecaru."Warga sini sudah biasa melihat tulang muncul saat ombak besar datang, jadi ya biasa saja," ujarnya.