Para wanita cantik itu keluar dari kaputren, lemah gemulai menuruni anak tangga, menuju pemandian Rara Denok. Mereka kemudian asyik berendam di kolam. Airnya bening. Tawa renyah keluar dari mulut mereka, ditingkahi gemericik air yang mengalir dari pancuran. Putri keraton betah berlama-lama saat membersihkan diri di pagi dan sore hari. Mereka dari Kesultanan Banten, masa lalu. Pemandian tersebut berada di kompleks Keraton Surosowan yang kini berada di kawasan Banten Lama, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, sekitar 10 km di utara Kota Serang.
Lokasi keraton di selatan Masjid Agung Banten. Kolam Rara Denok berbentuk persegipanjang. 30 x 14 meter. Kedalaman 4,5 meter. Di tengahnya, ada kolam lebih kecil, tempat istirahat bernama bale kambang. Terlindungi benteng tinggi nan kokoh, para wanita merasa aman dan nyaman. Namun, kini keindahan pemandian kelas VIP hanya menyisakan air hijau kotor. Bagian luar tembok kolam hanya tersisa setengah meter, meski tampak kuat dan bagus. Kolam yang menyimpan banyak cerita kecantikan putri keraton, kata pengunjung asal Tasikmalaya.
Rara Denok, Tasik Ardi, Pangindelan Abang, Putih, Mas. Canggih ..
Rara Denok menunjukkan teknologi pengairan yang sangat maju pada zamannya. Air dari danau Tasik Ardi seluas 6,5 hektar dibuat masa Sultan Maulana Yusuf ( 1570 – 1580 M ), sekitar 2,5 km selatan keraton, dialirkan melalui pipa tanah liat setelah melewati 3 tahap penyaringan dalam bangunan menyerupai gerbong kereta api. Pertama, Pangindelan Abang. Kedua, Pangindelan Putih. Ketiga, Pangindelan Mas. Saluran itu dibuat masa Sultan Ageng Tirtayasa ( 1651 – 1683 M ) dengan arsitek Hendrick Lucasz Cardeel ( Belanda ). Bangunan2 tsb kini masih berdiri kokoh, meski tak berfungsi. Bagian dalam mengeluarkan bau tak sedap karena dipakai sarang oleh kelelawar.
Tak seperti Keraton Cirebon atau Yogyakarta yang masih utuh, Surosowan hanya puing2 hampir rata dengan tanah, di dalam benteng seluas 4 hektar. Istana Surosowan dibangun masa Panembahan Hasanuddin, sultan pertama Banten ( 1526-1570 M ). Nama istana ini kemudian menjadi nama wilayah kekuasaan, selanjutnya nama resmi kerajaan Islam di Banten. Negeri Surosowan.
Mulanya kompleks keraton tak semegah seperti terlihat pada reruntuhannya. Pada masa Sultan Abdulfatah ( Sultan Ageng Tirtayasa ) terjalin persahabatan internasional, teknisi2 Eropa diundang dan dilibatkan dalam pembuatan kapal2 niaga dan perbaikan kompleks Keraton Surosowan. Istana menjadi lebih megah dan lebih tahan dari serangan. Dibangun pancuran dan kolam pemandian di dalamnya. Di sekelilingnya dibangun tembok bata merah yang tebal. Di sudut2 benteng dibangun menara penjaga ( bastion ). Jalan masuk ke istana berbentuk busur, diberi dinding bata pada kedua tepinya untuk menghindari pengintai luar.
Sultan Aliuddin II & Patih Mangkubumi melawan Daendels : merdeka atau mati !
Keraton Surosowan dihancurkan beberapa kali ; oleh perang Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya, Sultan Haji dukungan penjajah Belanda. Perang Sultan Aliuddin II ( 1803 – 1808 M ) dengan Herman Willem Daendels, karena Aliuddin menolak mengirim 1000 pekerja rodi untuk membangun jalur Anyer – Panarukan, juga menolak menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja karena tak setuju ibukota kesultanan dipindahkan ke Anyer, serta menolak benteng Belanda dibangun sekitar Surosowan. Aliuddin lalu dibuang ke Ambon, Patih Mangkubumi dipancung. Rakyat Banten terus melawan. Daendels lalu membakar Surosowan, tahun 1813.
Perjuangan rakyat Banten itu, sayangnya tak diabadikan dengan baik. Benteng Surosowan terlihat tak terurus, kesepian. Sampah bertebaran. Tembok benteng, satu-satunya yang relatif utuh, rusak di sana sini. Dalam ruang2 penjagaan yang pengap dan becek, beberapa pengunjung bersemedi. Bekas alas tidur dan sisa ritus menjadi saksi bisu penelantaran itu. Memang sulit dan mahal untuk merekonstruksi keraton. Tapi memelihara yang masih tersisa, rasanya tidak. Ada yang terketuk turut merawatnya ?
( diramu dari tulisan Enton Supriyatna Sind di PR, 8/5/2010 )