Mitos Awal Mula Peradaban dan Kebudayaan dalam Bencana Debu Air
Awal mula Peradaban dan Kebudayaan tertelusuri antara lain oleh Alan Woods dan Ted Grant dalam “REASON IN REVOLT: Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Moderen”, 2006, menyatakan bahwa Ruang angkasa tidak sepenuhnya kosong. Satu kehampaan sempurna tidak ada di alam. Ruang angkasa diisi dengan gas tipis, “gas antar bintang” yang pertama kali dideteksi oleh Hartmann di tahun 1904. Konsentrasi gas dan debu menjadi semakin besar dan padat di daerah seputar galaksi-galaksi, yang dikelilingi oleh semacam “kabut”, yang kebanyakan terdiri dari atom hidrogen, yang terionisasi dari radiasi bintang-bintang. …Bumi dan segala isinya, termasuk manusia, seluruhnya dibangun dari pengolahan limbah debu bintang, besi di dalam darah manusia merupakan salah satu contoh tipikal dari limbah kosmik yang telah di daur ulang (hal.279-280). Dengan demikian Langit dan Bumi, berawal mula dari debu (gas yang tipis) karena ledakan besar (Big Bang) yang berdialeltik menjadi atom hidrogen (air) dibungkus kabut gas tipis. Kemudian Roh Tuhan melayang-layang di atasnya (Genesis, 1:2) untuk mengerami, sehingga era itu (zaman archean) sangat panas, tidak ada/belum ada kehidupan, untuk berproses ke era kehidupan awal, massa benua (zaman Pangea). Maka itu manusia dikatakan berasal dari debu (tanah), akan kembali ke Tanah (Genesis,3:19-20), yang awalnya diciptakan Tuhan sesuai rupaNya (Genesis, 1:26-27 ).
Di Nusa Tenggara Timur, mitos kepurbaan memandang awal mula terjadinya Peradaban dan Kebudayaan dalam Bencana Air, dapat terpahami kisah mitos Masan Doni menghadap Lera-Wulan (Matahari-Bulan), karya Pater Paul Arndt, SVD, tentang Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels, terpublikasi Athropos, Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor, (2002). “Awal mula adalah sebuah Saburi Bui Woka Paga Pele. Di situ terdapat sebuah kolam yang disebut Kebou dan sebuah mata air yang terkenal dengan nama: Wai Tiu Belu Kea Banu Gelong Hukang Naluk, Belu Kea Kedu, Hukan Naluk Wadan. Kemudian muncul bumi, lumpur mengering, ketam membeku, munculah daratan dan timbulah karang laut. Waktu itu hanya ada dua orang: Masan Wahane dan Peni Masan Dai. Keduanya beranak kembar, seorang perempuan dan seorang laki-laki. Nama mereka mengikuti nama Bapa-Mama. Keduanya menjadi suami isteri. Waktu malam hari Peni Masan Dai merasa sakit perut, ia pergi tidur. Ketika anak-anak dilahirkan, sebatang pohon kelapa tumbuh, mendorong anak-anak itu ke atas. Kedua anak itu duduk di puncak pohon kelapa. Tat kala lapar mereka makan buahnya, waktu haus mereka minum airnya. Ketika bumi hancur berantakan, manusia semua mati kecuali mereka berdua. Seekor ular menjaga pohon kelapa, seekor rusa menopang pohon kelapa, kayu dan batu, agar tidak tumbang. Ular dan rusa terus menjaga kedua anak di puncak kelapa itu agar tidak dimakan oleh buaya dan ikan besar. Ketika tanah kering, keduanya hendak turun ke tanah. Satu setengah bulan kemudian, barulah tanah kering. Keduanya turun ke tanah , berjalan ke sana ke mari , dan mereka bertemu dengan sepasang belalang yang sedang kawin. Keduanya berujar, kita juga berbuat demikian. Jadilah kedua bersaudara itu suami isteri. Keduanya mendapat dua orang anak yang diberi nama Sira Demon dan Sira Paji. Ibu dan Bapa mereka kemudian memperanakkan lagi dua orang puteri. Demon dan Paji berselisih karena mau kawin dengan saudari mereka. Karena sang Kakak hendak memperisteri kedua perempuan itu. Sang Adik tidak setuju, sebaiknya masing-masing mengambil seorang menjadi isteri. Akibatnya keduanya berpisah, Sang kakak mendiami wilayah Paji, adik tinggal di wilayah Demon. Kakak menurunkan orang Paji, adik melahirkan masyarakat Demon”, (hal. 19-21).
Akibatnya keduanya berpisah, Sang kakak mendiami wilayah Paji (Air, Lautan, Pesisir), sedangkan adik tinggal di wilayah Demon (Darat, Daratan, Pedalaman) masing-masing wilayah masih dalam satu Benua (yang kelak hanyut) berada di bagian Selatan Katulistiwa arah Timur. Dalam telusuran kisah, kelak Kakak menurunkan orang Paji, simbol masyarakat peisisir, pulau-pulau di bagian Selatan Katulistiwa arah Timur Dunia. Sedangkan adik melahirkan masyarakat Demon”, simbol masyarakat daratan, wilayah pedalaman luas benua di bagian Utara-Selatan Katulistiwa arah Barat Dunia. Turunan Sira Demon atau yang mewaris Sira Demon kelak juga menempati bagian Utara Katulistiwa arah Timur Dunia. Kerangka migrasi turunan Sira Paji dan Sira Demon ini, tentu menjadi penuntun untuk memahami roh mitos penghanyutan benua (benua yang hilang). Sekaligus menegaskan bahwa benua yang hanyut itu berada di Nusa Tenggara-Maluku, Indonesia Timur, (Asia Tenggara). Kelak terbuktikan Kepulauan Solor Purba sebagai Poros Benua yang hanyut itu, Atalantis yang hilang.
Alan Woods dan Ted Grant menyatakan bahwa “Gejala-gejala seperti gempa bumi, sejak awal kehadiran manusia telah mengalami ledakan gunung yang mengungkap kekuatan maha dasyat yang tersumbat di bawah permukaan Bumi. Namun gejala-gejala itu selalu disebut disebabkan oleh para dewa. Poseidon (Neptunus) adalah “sang pengguncang bumi”, sementara Vulcan (Hephistes) adalah dewa pandai besi yang pincang, berdiam di perut bumi, dan menyebabkan gunung meletus setiap kali ia mengayunkan godamnya (hal.286). Sedangkan di Nusa Tenggara Timur dalam mitos Masan Doni menghadap Lera-Wulan (Matahari-Bulan), mitos dari Kepulauan Solor mengisahkan bahwa, Lera Wulan sangat terkejut ketika melihat Masan Doni. Ia berkata kepada Raja Masan Doni: “Ku mengira aku seorang diri saja di sini, ternyata engkau masih ada”. Raja masan doni menjawab: “Ya, seperti yang engkau lihat, aku masih ada. Ketika masih kecil, aku sudah mempunyai janggut”. Lera Wulan berkata kepadanya: ”Oleh sebab itu namamu sekarang Doni Dunia, dan harus menjujung bumi dengan kepalamu”. Maka Masan Doni menunggang seekor kerbau dan meletakan bumi di atas kepalanya. Lama kelamaan ia menjadi letih dan menggoyang tubuhnya. Itulah sebabnya terjadi gempa bumi, (Paul Arndt, hal. 27).
Mitos kepurbaan dan kedasyatan terjadinya bencana banjir yang menyebabkan orang-orang menyelamatkan diri dengan berbagai cara, antara lain ke puncak gunung dan burung penemu, ditelusuri oleh Stephen Oppenheinmer dalam karyanya “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia” 1998, diindonesiakan “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara” 2010, ternyata menjangkau hingga jauh ke selatan di Indonesia Timur, yaitu Pulau Roti di Nusa Tenggara. Seekor Elang Laut menaburkan sebagian tanah kering ke air dan manusia serta keluarganya turun dari gunung ke daratan yang baru. Kemudian elang laut itu menemukan berbagai benih tanaman pertanian sehingga mereka bisa bercocok tanam(hal.425-426).
Namun mengapa sebuah bencana dasyat terjadi, tertelusuri senantiasa muncul mitos-mitos purba di seluruh muka bumi dengan berbagai versi. Melalui penelusuran Genealogis dan Kebahasaan, Oppenheimer telah membuktikan bahwa asal berbagai mitos dengan segala versinya yang memaknai berbagai kisah tentang awal terjadinya langit dan bumi dengan segala isinya termasuk manusia, bermula di wilayah Kepulauan Sunda Kecil (Maluku dan Nusa Tenggara) sebagai bagian Indonesia, wilayah Asia Tenggara. Sedangkan dari telusuran mitos dan geologi, Arysio Santos menegaskan Atlantis Yang Hilang itu berada di Indonesia, dan menyatakan Indonesia ternyata tempat lahir Peradaban Dunia dalam bukunya “ATLANTIS The Lost Continent Finally Found”, The Devinitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005), diindonesiakan menambah subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009).
Mitos Bencana karena Ekor Ikan Raksasa
Di kalangan orang Amarasi di Pulau Timor bagian Barat Daya menyimpan kisah terbentuknya garis pantai tempat itu. Konon oleh Ikan raksasa yang menghancurkan tanah daratan itu dengan ekornya. Ikan itu menjadi Ikan Paus dalam kisah lain dari Maluku Tenggara, yang menjadikan sebuah danau di Kepulauan Kei Kecil. Dalam versi kisah penghancuran Pulau Timor oleh seekor Ikan Raksasa ini, dapat bersambung kisah dengan di ujung Pulau Timor bagian Timur (Oppenheinmer, hal. 405-406).
Jauh di ujung Pulau Timor bagian Timur, para penduduk menyimpan kisah bahwa terbentuknya wilayah mereka karena seekor Ikan Gergaji ganas yang menghancurkan pulau yang jauh lebih besar, yang bernama Luondona-Wetrili. Tersisa pulau kecil Luang dari bekas pulau tersebut. Terkisahkan hidup dua orang Laki-laki yatim kakak beradik, yang kakak tinggal dengan seorang Raja, sedangkan adiknya bersama seorang Nenek Tua (Perempuan). Anak terkecil sebagai simbol orang baik, yang pernah menyelamatkan seekor Ikan Gergaji dari kematian, membuat mereka berkenalan dan bersahabat abadi. Dalam sebuah kompetisi, terjadi permusuhan kedua bersaudara, berujung kekalahan si adik yakni tenggelam di laut. Ikan Gergaji yang pernah ditolong merupakan Raja Lautan, menyelamatkan sang adik dari dasar laut, dan membawa kembali ke Luondona. Membalaskan kekalahan si adik dengan menghancurkan beberapa tempat, memisahkan Leti dari Timor Timur, menghancurkan kepulauan asli Roma menjadi sekumpulan pulau kecil. Karena sang Kakak melarikan diri membawa tunangan dari adiknya, maka Ikan Gergaji menyelamatkan keluarga yang dilindungi dari utara (Damar), lalu menenggelamkan/menghancurkan seluruh benua. Berhubung daratan yang tersisa hanya sebuah pulau kecil (Pulau Luang), maka penduduk bermigrasi, begitupun klan dari jauh setelah bermain lempar dadu, juga meninggalkan Luang (Oppenheimer, hal.406-407).
Berlanjut kisah Ikan sebagai penghancur atau pembuat bencana dimunculkan pula oleh orang-orang Lamalera di Pulau Lembata bagian Selatan. Sebagian orang Lamalera menyebutkan kedatangan mereka dari tempat yang jauh Sera-Gora (Seram dan Gorom), Abo, Mua (Ambon, Muang), Nila, Roma, Wato Bela, dsbnya, tiba di Keroko Puka. Kemudian dari Keroko Puka, bermigrasi lagi ke Pulau Lepan dan Pulau Batan. Migrasi dari Lepan Batan berawal dari seorang Nenek Tua dengan Ikan Belut yang ditangkapnya. Namun belut itu tidak dimatikan, sehingga nenek itu berubah pikiran sewaktu sampai di rumah untuk memeliharanya sebagai pengganti anak. Kemudian berproses menjadi bencana setelah belut itu besar (belut raksasa), karena memakan setiap anak kecil yang ditinggalkan orang tua saat ke kebun. Belut itu bersembunyi di dalam randu hutan, dan dengan alat pemanas besi di masukan ke dalam untuk membunuh belut itu. Randu hutan itu tumbang, air laut naik, terjadilah bencana. Bencana itu menyebabkan mereka bermigrasi kembali, ada yang melalui darat, dan ada yang melalui laut, sampai sebagian mendiami Lamalera sekarang. Nenek Tua dengan Ikan Belut yang membuat bencana itu, dibiarkan berjalan kaki sedang menangis, berdiri di tanjung Ata Dei sekarang, sedangkan yang lain ke Atafolo Lodobelolong, Keroko Puka, Lewo hajo (di atas Lebala sekarang), ada yang ke sebelah Utara, juga ada yang ke Pulau Pantar (Gregorius Keraf, Disertasi Morfologi Dialek Lamalera, UI, Jakarta, 1978, hal.227-239).
Di sebelah pulau terdekat, Alorese mengisahkan hancurnya pulau lain di dekat pantai mereka oleh seekor Ikan. Sebagian orang Alor melacak kejadian bencana di maksud, lalu berkeyakinan bahwa pulau yang tenggelam sebagai tanah kelahiran mereka sebelumnya. Para penduduk yang tidak berbahasa Austronesia ini, memiliki bahasa yang sangat mirip dengan penduduk Timor. Jauh di sebelah Timur terbentang Pulau Atauro yang menjadi wilayah Timor Timur. Banyaknya lubang dan gua di pegunungan yang dikisahkan disebabkan oleh seekor Belut raksasa, yang diburu oleh nenek moyang salah satu dari tiga orang yang tinggal di pulau tersebut. Mereka beranggapan bahwa Atauro dahulu adalah bagian dari sebuah daratan yang lebih besar bernama Timor dan Pulau Kisar di dekat mereka yang jauh di sebelah timur juga salah satu bagiannya (Oppenheimer, hal. 406).
Kaitan Nenek Tua yang menghidupkan kembali si Adik yang mati tenggelam di dasar laut dalam perkelahian dengan si Kakak dalam mitos penghancuran benua Luondona-Wetrili. Tertemukan mitos Ikan menghidupkan orang meninggal melalui Stephanus Ozias Fernandes, SVD dalam bukunya “KEBIJAKAN MANUSIA NUSA TENGGARA TIMUR DULU DAN KINI” (1991). Di pulau Solor bagian Timur, kampung Wulublolong yang terletak di pinggir pantai, Ikan menjelma menjadi manusia yang menjadi pengasal suku Lewo Nepa. Bermula dari hukuman pembuangan di hutan yang dialami raja Sarilapang. Setiap hari mengisi waktunya dengan berburu yang ditemani oleh ketujuh ekor anjingnya. Suatu dalam perburuan melihat seekor ikan “karoo lepa nina” tergantung di pohon “kerore”. Ikan itu diambilnya dan digantung di kediamannya, kemudian ia kembali berburu. Saat pulang berburu ia melihat sudah tersiapkan makanan untuknya. Kejadian yang sama terus berlangsung di hari-hari berikutnya, sampai hari ke 3 ketahuan bahwa Ikan itu seorang gadis. Akhirnya mereka menikah, sampai suatu saat si Karoo itu diutus untuk menemui orang tuanya di laut demi meminta guna-guna. Guna-guna untuk mengatasi anak muda yang nakal, sekalian untuk menghentikan pencurian buah kelapa. Si Karoo berjanji bahwa paling lama 7 hari dia sudah kembali dari dalam laut. Namun karena keterlambatan menempati janjinya, maka Siralapang putus asa dan membunuh ke 7 ekor anjingnya lalu menutupi dengan daun, sesudah itu ia juga menggantung diri. Ketika isterinya kembali membawa guna-guna, maka suaminya dan ketujuh ekor anjing yang sudah mati itu dihidupkan kembali dengan guna-guna itu. Demikianlah dari mereka berasal suku Lamanepa sekarang (hal. 122-123).
Alorese itu (Kepulauan Alor) dalam pemaknaan purba menyatu wilayah Kepulauan Solor (Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata) yang mencakup pula Pulau Flores. Orang-orang yang mendiami gugusan kepulauan itu sampai kekinian dikenal dengan ATA LAMAHOLOT (orang lamaholot). Orang Lamaholot dengan segala generasi turunan, kekinian teridentifikasi menjadikan Kepulauan Solor dan Daratan Timur Nusa Nipa (Pulau Flores), sebagai pusat peradaban, yang tertelusuri menyebar ke seluruh Nusa Nipa. Nusa Nipa, Nusa Ular merupakan nama mitologik pulau Flores yang di temukan oleh Petu Sareng Orin Bao alias Pater Piet Petu, SVD (almarhum) dalam bukunya: “NUSA NIPA WARISAN PURBA” (1969). Petu Sareng Orin Bao sendiri dalam bukunya (hal. 221), mengungkapkan kegusarannya, merasa aneh, kenapa nama Nusa Gede (Nusa Nipa), Pulau Flores, dinamai selaras dengan nama-nama nusa cilik, misalkan dengan nama nusa Solor, nusa Ende.
Mitos Bencana melalui Tombak sebagai Senjata Geografis
Kegusaran Petu Sareng Orin Bao atas tidak terkenalnya nama Pulau Flores dalam lintasan Zaman Prasejarah, rupanya menjadikan salah satu alasan untuk menelusuri nama asli, nama purba Pulau Flores, yang ditandaskan sebagai NUSA NIPA. Walaupun nama, sebutan purba pulau flores itu sendiri sesungguhnya adalah NUSA SOLOT, PULAU SOLOR, seperti yang ditandaskan dalam bukunya (hal 221), bahwa:”…Sebagaimana diutarakan tahun 1287 penanggalan Caka mengachirkan masa prasedjarah Nusa Nipa oleh pemberitaan nama purbanja Solot. Sedjak itu Nusa Nipa menjadi Nusa bersedjarah, dikenal dengan nama Solor atau Solot. Tetapi terhentinja zaman prasedjarah itu tidak mutlak dalam arti bahwa Nusa nipa dikenal merata dalam naskah-naskah tertulis”.
Dalam penuturan Marselinus Nurat Maran dan Hendrikus Regi Maran, menyangkut Kepulauan Solor Purba, melalui ungkapan kata Lamaholot yang sebenarnya adalah: Lama Ho Olot. Kata Lama berarti: Suku atau Kelompok, sedangkan Ho Olot berasal dari kata: Hong dan Olot. Kata hong artinya: Muncul atau timbul atau naik. Sedangkan Olot artinya: bergulung atau bergelombang. Jadi Lama Ho OLot (LAMA HO LOT) berarti kelompok atau suku yang di hanyutkan atau di bawa oleh arus dan gelombang sampai terdampar di pantai.
Suku atau kelompok yang dibawah oleh arus dan gelombang dari tengah laut (suku atau kelompok dari kerajaan Wato Wan Pito Tanah Parak Wade Lema). Ada dua suku atau kelompok yakni: 1. Dibawah oleh: Kopong Kuda Wulin Rua Mamung Gojak Taran Pito, yang terdampar di Nuha Atah Latalah (Werah Miten Jabon Tameng, Keroko Pukang Lapan Batan Tanah Nusar Eban Belen/Alor). 2. Di bawah oleh: Ama Sadi Boli Burak singga di Ile Belega Lega Woka Banole-Nole, kemudian berlayar lagi dibawah oleh arus dan gelombang sehingga terdampar di Pita Belen yakni: Gede Rade Onen. Kemudian Ama Sadi Boli Burak menancap lembing (tombak) di pasir putih dan menamakan dirinya “Ama Sadi Hading Gala“. Akhirnya sampai sekarang di sebut: Teluk Sina Hading Gala (Teluk Hading).
Kemudian Ama Sadi Hading Gala membawa suku atau kelompoknya untuk Tonga Ile Geleng Woka, Seban Neban Raja, Soba Sagu Tuan terhadap Regi Belen dan Kaum Ile Jadi di kerajaan Eli Matan Pito Eli Lotak Leluari. Dalam Ae Arah Soba Sagu, Seban Neban Tonga Gelen Raja Tuan Ile Belen, Ile Talu Suban Woka Ban Doni Mandiri Tanah Lolon, maka Regi Belen merasa kasihan terhadap Kaum Lau Lewa Luat Dai. Akhirnya Regi Belen menyampaikan beberapa hal terhadap kaum Lau Lewa Luat Dai (suku atau kelompok yang di pimpin oleh Ama Sadi Hading Gala), sebagai berikut: 1. Membangunkan pemukiman untuk suku/ kelompok Ama Sadi Hading Gala dengan nama Lewo Belen (disamping ile mandiri). 2.Regi Belen menamakan lima nuha bao bajat nebon, sebagai persiapan penempatan seluruh suku/ kelompok lau lewa luat dai dengan nama suku/ kelompok menjadi satu yaitu lewo lamaholot tanah ekan bura wakon terdiri dari: 2.1.Wato rain tanah adam (ile mandiri) mencakupi: baipito lewo lema, rarantukan demon pagong, titehena, ile bura, wulan gitan, dan tanjung bunga. 2.2 Werah miten jabon tameng (alor). 2.3. Solor rera gere (lembata).2.4. Solor tega rua (solor), .2.5. Solor rera lodo (adonara). 3. Regi belen ingin menyatukan kiwan watan sadik sare, puna tupat mopo rorit, ihiken noon selaka lapiten noon belaon dein lewo wani tanah hone koke padak bale perik nuba mula bale pake lewo lein tanah pake suku lain wun. 4. Regi Belen ingin wekan hukat tanah duga dawin ekan untuk ata lamaholot sedangkan tanah kolen ile ekan matan woka adalah dia yang sebagai penguasa tunggal (milik Regi Belen dan kaum ile jadi). Dimaksudkan kaum ile jadi yaitu, sebagai berikut: 1) Bagi Regi Belen yang keturunan dari nurat belen dan ia mati tanpa keturunan. 2) Barekama Matan Petala, yang menurunkan, Dihe Ehe Ama dan Ojan Barekama, yaitu suku Ama MARAN yang kini berada di lewo ema bapa BAIPITO yaitu, lewo mudakaputu tanah ledo lolon lou koke ile bale woka, nuba sadi lakin bela hara geka!
Pada prinsipnya Lamaholot berasal dari lau lewa luat dai, ata lamaholot (orang lamaholot) datang dan bermukim dengan orang-orang keturunan Ata Latalah baik di wera miten jabon tameng (alor) maupun di wato rain tanah adam di kerajaan Eli Matan Pito Eli Lotak Lelu Arin, Ra’a mean keleka eban Ile Mandiri. Kata “ata latalah” bermakna orang-orang dan tanah kediamannya yang di wariskan oleh seorang leluhur yakni Oka Paji Bara Lali yang adalah anak dari Leu Kumang horong Girek dan Bota Dike Pine Sare. Manusia pertama yang melahirkan peradaban dunia. Nuha Bao Bajat Nebon ata Latalah di sana terdapat sebuah Lewo (kampung) yang bernama Werah Miten Jabon tameng, kampung ini kemudian tenggelam sehingga dapat di pastikan dengan tenggelamnya tempat ini, maka tenggelam pulalah peradabaan awal mulanya dunia, demikian Marselinus Nurat Maran dan Hendrikus Regi Maran dalam situs blog. mereka.
Kekunoan yang lebih tua dari ungkapan Lamaholot untuk menyebut wilayah kepulauan itu tentu Solor (dari kata Solar: sinar Matahari) sehingga dikenal dengan Kepulauan Solor (Adonara, Alorese, Solor, Lembata). Dalam dialketika berubah menjadi Solot sehingga disebut Kepulauan Solot yang mencakup (Adonara, Solor, Lembata, Flores), namun dalam spirit penyebutan purba Lamaholot tentu mencakup pula Flores dan Alor. Dengan demikian mencakup gugusan kepulauan Purba yang memanjang dari Alor, Lembata, Adonara, Solor, sampai Labuan Bajo (Flores), bandingkan dengan Petu Sareng Orin Bao bukunya: “NUSA NIPA WARISAN PURBA” (1969).
Tombak sebagai senjata geografis yang mengakibatkan bencana, tertemukan pula mitos pada masyarakat Pulau Sumba. Bahwa ada seorang penguasa mistis dari seberang bernama Tulleka Tana Moto Kawinne, dengan gelar “Rato Ndima” menjelama menjadi seekor babi, sewaktu malam mencuri (memakan habis) ubi keladi di kebun seorang kemanakan dari Umbu Bobo di Sumba Tenggara. Kemanakan itu marah dan meminjam tombak keramat milik Umbu Bobo untuk menunggu datangnya kembali pencuri di malam berikutnya, dan berhasil menombak pencuri itu. Rato Ndima dalam jelmaan babi yang terkena tombak, menghilang dengan tombak yang tertancap di badan, namun meninggalkan jejak sampai ke pantai. Umbu Bobo memarahi kemanakannya dan menuntut untuk segera ditemukan tombak keramat itu. Maka dalam pencarian sesampai di pantai, kemanakan tersebut bertemu seekor Kura-kura bernama “Rato Ghonu” yang membantunya untuk mencari. Pencarian mereka sampai di kerajaan Rato Ndima, menemui Rato Ndima dalam keadaan sakit parah. Segala usaha untuk kesembuhan Rato Ndima, ternyata sia-sia. Rato Ndima berjanji untuk memberikan apa saja diminta kepada kemanakan Umbu Bobo, apabila ia dapat menyembuhkannya. Kemanakan Umbu Bobo berhasil menyembuhkan Rato Ndima dengan berhasil mencabut tombak keramat yang tertancap di badanya. Ditunjukan kepada Rato Ndima barang lain sebagai penyebab sakit, dan disembunyikan tombak keramat itu. Sebagai balas jasa kemanakan Umbu Bobo meminta sebua Batu Suci yang sangat besar yang dinamakan “Watu Malandongo”, namun dengan segala gaib yang ada padanya, ternyata batu itu sulit diangkat untuk di bawa pergi. Namun tiba-tiba sebuah gempa bumi yang hebat membuat batu itu keluar dari tanah. Dengan tombak dan batu, kemanakan Umbu Bobo keluar dari kesulitan itu, dengan melompat ke air di sawah Waikelo, sebuah sumber air yang pantang kering. Sampai kini masyarakat Sumba masih menceriterakan, bahwa batu yang suci itu kemudian terbawah sampai sungai Polapare di wilayah Kodi, Sumba Barat (Stephanus Ozias Fernandes, hal.126-127).
Pikiran Konklusif
Menempatkan NTT (simbol Nusa Tenggara) dan Maluku, sebagai wilayah Sunda Kecil simbol Indonesia Timur di Asia Tenggara dalam tautan mitos Ikan Penghancur dan Tombak Geografis sesungguhnya tersingkap kisah Permusuhan Dua Bersaudara. Tercermati konflik kakak dengan adik (permusuhan dua bersaudara) seperti kisah penghancuran benua Luondona-Wetrili oleh Ikan Raksasa sebagai titisan nenek tua, karena membela si Adik. Begitupun mitos Tombak sebagai senjata geografis, tersingkap Kulabob yang berselisih dengan Manup saudaranya di Papua Nugini Utara. Mengakibatkan Kulabob berlayar pergi meninggalkan adik ke arah Timur, menggunakan senjata tombak sebagai pembajak lautan, sekaligus memisahkan daratan dan karang. Dua mitos itu mengambarkan aroma perselisihan karena memperebutkan isteri dan adanya perselingkuhan.
Seperti pada penghancuran benua Luondona-Wetrili oleh Ikan Raksasa, karena kekalahan si adik dalam Kompetisi dengan kakak, berujung isterinya direbut oleh Kakak. Maka Perselisihan Dua Bersaudara di Papua Nugini Utara, terjadi karena aroma perselingkuhan Kulabob dengan Isteri adiknya Manup. Akhirnya Kulabob bermigrasi, antara lain dalam perjalanan ke Timur membelah Kepulauan Barrier Reef di Sek dan Kranker mulai dari daratan Pupua Nugini bagian Utara dengan tombaknya. Tindakan ini membentuk laguna dengan batu karang besar di Madang dan Sek dengan deretan Kepulauan berkarang dan berbagai jenis sungai menuju lautan. Kemudian berlayar lagi ke arah Tenggara di sepanjang pantai Rai, dengan meninggalkan Kepulauan dan batu karang yang baru dalam pelayarannya. Senjata geografis (Tombak), berkaitan dengan nama Atuf yang berbahasa Austronesia yang dipuja di Tanimbar (Maluku Tenggara) karena kepalawanannya membelah (memecah) lesser su… berlayar dari Kalimantan dengan tombaknya sebagai bajak ke Timur menuju Matahari terbit. Atuf dalam menggunakan tombaknya sebagai bajak itu, telah memisakan deretan pulau Nusa Tenggara degan benua Sunda saman Es. Secara geologi ini yang terjadi di Bali selama pasca banjir ES. Senjata geografis tombak ditemukan pula di Seram dan Banda dalam kisah banjir tentang Putri Boi Ratan (Oppenheimer hal.408-409 dan hal. 706).
Walaupun di Pulau Sumba, kisah tentang Tombak Geografis ini dalam makna yang sangat terbungkus tentang pemecahan benua dan permusuhan dua bersaudara. Namun dapat tercermati terjadinya gempa bumi untuk dapat mendorong keluar batu keramat dari tempatnya. Tersingkap pula permusuhan, terbungkus dalam kemarahan Umbo Bobo terhadap Kemanakannya akibat hilangnya tombak keramat yang digunakan menombak Babi mistis (Stephanus Ozias Fernandes, hal.126-127). Berikut Pemecahan Benua melalui Tombak Geografis ini, sangat samar dikisahkan dalam mitos Masan Wahane dan Peni Masan Dai, yang mempunyai cucu bernama Sira Paji dan Sira Demon, sebagai anak dari Laga Doni dan Peni Masan. Konflik kedua kakak beradik ini karena merebut air susu Ibu, saat Ibu menyusui. Permusuhan ditingkatkan sewaktu mereka berdua dewasa, yakni memperebutkan saudari kembar untuk dijadikan isteri. Sang Adik tidak setuju, dengan mengusulkan sebaiknya masing-masing mengambil seorang menjadi isteri. Namun karena tidak ada kesepakatan, membuat mereka berdua berpisah. Sira Paji dengan segala turunan dikenal sebagai Ata Watan (Manusia Pesisir), sedangkan Sira Demon dengan segala turunan digolongkan sebagai Ata Kiwang (Manusia Pedalaman). Dalam kisah konflik (permusuhan) dua bersaudara Paji dan Demon yang dikaji secara khusus oleh Pater Paul Arndt, SVD di Kepulauan Solor, Nusa Tenggara Timur dalam Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels, terpublikasi Athropos, Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor, (2002).
Tercermati dari mitos penghancuran benua melalui senjata geografis tombak dan pengibasan ekor Ikan Raksasa, maka dapat terprediksi bagian dari wilayah benua yang terhanyutkan itu mencakup Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku, dengan berbagai kepingan Kepulauan di Lautan Pasifik sekarang. Pulau Irian waktu itu masih melekat satu daratan dengan Benua Australia. Apabila berbagai mitos penghanyutan benua itu ditempatkan dalam Zaman Meozosoikum (saman kehidupan menengah) yang pernah menempatkan India di Selatan Katulistiwa Arah Timur bersama Australia dan Antartika, tentu dapat dipastikan India pada zaman itu termasuk dalam wilayah benua yang hanyut itu (Atlantis).
Terpahami melalui Alan Woods dan Ted Grant yang menjelaskan pemecahan Massa Benua Pangea (Zaman Paleozoikum, Zaman hidup Tua) dalam Zaman Mesozoikum atau sering pula disebut sebagai zaman sekunder atau zaman hidup pertengahan berlangsung selama kira-kira 140 juta tahun, antara 251 hingga 65 juta tahun yang lalu. Disebut juga sebagai zaman reptil, karena reptil besar berkembang dan menyebar ke seluruh dunia. Pemecahan awal (Pertama) Massa Benua Pangea, menandai Zaman Mezosoikum sekitar 180 juta tahun lalu. Pemecahan dalam Sumbu Timur dan Sumbu Barat, menempatkan Samudra Letys yang membagi massa benua Pangea dalam wilayah Utara yang disebut Laurasia, wilayah Selatan yang dikenal dengan Gonwandaland. Kemudian Pemecahan Kedua Massa Benua Pangea sekitar 120 juta tahun lalu wilayah Gonwanland (Selatan) di Timur menjadi 3 bagian: India, Australia, Antartika. Kemudian Pemecahan Ketiga, terjadi di akhir zaman mezosoikum sekitar 65 s/d 40 Juta tahun lalu, yakni pembelahan dari Utara ke Selatan. Samudra Atlantik memecahi Amerika Utara dari Laurasia, memisahkan Amerika Selatan dari Afrika. Menyebabkan India bergerak dari Selatan, naik menubruk Asia, begitupun Afrika bergerak naik menubruk Eropa. Pemecahan Ketiga ini mengakibatkan 2/3 dari semua spesies musnah saat itu (hal.332).***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 15 Agustus 2011
Chris Boro Tokan